UNDANG-UNDANG
DAN PERATURAN PERIKANAN
OLEH
:
LA
HAKIM (I1A1 08 082)
ALFIAN
(I1A1 09 078)
LA
ODE KHAIRUM MASTU (I1A1 10 011)
MUHAMMAD
ILHAM (I1A1 10 049)
FAJARWATI
(I1A1 10 145)
A.
Kelebihan
UU No. 31 Tahun 2004 Terhadap UU No. 45 Tahun 2009
Kelebihan
UU No. 31 Tahun 2004 terhadap UU No. 45 Tahun 2009 ialah sebagai berikut :
a. Bahwa
Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan cukup menampung semua aspek
pengelolaan sumberdaya perikanan khususnya sumberdaya ikan dan telah mampu
mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan teknologi dalam
rangka pengelolaan sumberdaya perikanan.
b. Undang-undang
No. 31 Tahun 2004 telah malakukan pengelolaan perikanan berdasarkan asas
manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan keterpaduan, keterbukaan, efisiensi,
dan kelestarian yang berkelanjutan.
c. Pengelolaan
UU No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan
dilakukan dengan memperhatikan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah
d. Penguatan
kelembagaan dibidang pelabuhan perikanan, dan kapal perikanan telah
direalisasikan
e. Pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya ikan, baik yang berada di perairan Indonesia, Zona
Ekonomi Ekslusif Indonesia, maupun laut lepas telah dilakukan pengendalian
melalui pembinaan perizinan dengan memperhatikan kepentingan Nasional dan
Internasional sesuai dengan kemampuan sumberdaya ikan yang tersedia.
f. Pengelolaan
perikanan yang telah memenuhi unsure pembangunan yang berkesinambungan, yang
didukung dengan penelitian dan pengembangan perikanan serta pengendalian yang
terpadu
g. Pengawasan
perikanan telah dilakukan
h.
Pengelolaan perikanan dengan
meningkatkan pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan dibidang perikanan telah
dilaksanankan dan terealisasi.
B. Kelemahan UU No. 31 Tahun 2004
Terhadap UU No. 45 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
masih belum mampu mengantisipasi perkembangan teknologi serta perkembangan
kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya
ikan dan belum dapat menjawab permasalahan tersebut. Oleh karena itu perlu
dilakukan perubahan terhadap beberapa substansi, baik menyangkut aspek
manajemen, birokrasi, maupun aspek hukum.
Kelemahan
pada aspek manajemen pengelolaan perikanan antara lain belum terdapatnya
mekanisme koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan perikanan.
Sedangkan pada aspek birokrasi, antara lain terjadinya benturan kepentingan
dalam pengelolaan perikanan. Kelemahan pada aspek hukum antara lain masalah
penegakan hukum, rumusan sanksi, dan yurisdiksi atau kompetensi relatif
pengadilan negeri terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di
luar kewenangan pengadilan negeri tersebut.
Disisi lain untuk mengetahui
lebih jauh mengenai kelemahan UU No.31 Tahun 2004 ialah sebagai berikut :
Pertama,
mengenai
pengawasan dan penegakan hukum menyangkut masalah mekanisme koordinasi antar instansi
penyidik dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan,
penerapan sanksi (pidana atau denda), hukum acara, terutama mengenai penentuan
batas waktu pemeriksaan perkara, dan fasilitas dalam penegakan hukum di bidang
perikanan, termasuk kemungkinan penerapan tindakan hukum berupa penenggelaman
kapal asing yang beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia.
Kedua,
masalah pengelolaan perikanan antara lain kepelabuhanan perikanan, konservasi,
perizinan, dan kesyahbandaran.
Ketiga,
masih diperlukan perluasan
yurisdiksi pengadilan perikanan sehingga mencakup seluruh wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia.
Di
samping itu perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan juga mengarah pada keberpihakan kepada nelayan kecil dan pembudi
daya-ikan kecil antara lain dalam aspek perizinan, kewajiban penerapan
ketentuan mengenai sistem pemantauan kapal perikanan, pungutan perikanan, dan
pengenaan sanksi pidana.
Memang
tidak dapat dipungkiri, bahwa substansi atau materi yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 lebih banyak dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1985. Namun, banyaknya materi yang diatur bukan berarti undang-undang tersebut
sudah lengkap dan sesuai dengan aspirasi serta kehendak masyarakat, antara
lain:
Pertama, pengertian
nelayan kecil (Pasal 1 butir 11). Disebutkan bahwa nelayan kecil adalah orang
yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari (subsisten). Pengertian ini menimbulkan ketidakjelasan,
karena batasannya tidak ada, apakah batasannya berdasarkan pada besar atau
kecilnya alat tangkap yang digunakan atau berdasarkan besar atau kecilnya pendapatan
dari hasil tangkapan. Lebih dari itu, apakah pengertian nelayan kecil di sini
sama dengan pengertian nelayan tradisional. Dengan demikian, batasan atau
definisi yang jelas mengenai nelayan kecil harus segera diperjelas.
Kedua, pengelolaan
taman nasional laut (Pasal 7 ayat (5)). Sebelum adanya Departemen Kelautan dan Perikanan
(DKP), taman nasional laut dikelola oleh Departemen Kehutanan. Yang menjadi
pertanyaan, apakah DKP telah menyiapkan perangkat institusi yang kuat untuk
disebar ke seluruh wilayah Indonesia sebagaimana institusi PHPA mengelola taman
laut selama ini. Apabila hal ini diabaikan, dikhawatirkanmkerusakan ekosistem
laut akan semakin meluas karena tidak adanya kejelasan lembaga yang mengelola.
Ketiga,
pembentukan Dewan Pertimbangan Pembangunan Perikanan Nasional (Pasal 7 ayat
(6). Berdasarkan undang-undang ini, Dewan Pertimbangan Pembangunan Perikanan
Nasional bertujuan untuk mempercepat pembangunan perikanan, yang ketuanya
adalah Presiden dan anggotanya adalah menteri terkait, asosiasi perikanan, dan
perorangan yang mempunyai kepedulian terhadap pembangunan perikanan. Lantas
yang menjadi pertanyaan, apakah lembaga ini tidak berbenturan dengan
lembagasejenis seperti Dewan Maritim Indonesia (DMI) yang mempunyai fungsi dan
peran yang sama. Olehkarena itu, pembentukan lembaga ini harus diperjelas
fungsi dan perannya agar tidak menjadi lembaga mubadzir.
Keempat,
pemberian akses kapal asing (Pasal 29 ayat (1) dan (2)). Pasal 29 ayat (1)
menyebutkan bahwausaha perikanan di WPP Indonesia hanya boleh dilakukan oleh
warga negara RI atau badan hokum Indonesia. Namun Pasal 29 ayat (2)
menafikannya, disebutkan pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha
penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara RI
berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang
berlaku.
Kelima,
minimnya kelengkapan persyaratan pendaftaran kapal (Pasal 36). Persyaratan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 sangat minim, yaitu: (1) bukti
kepemilikan, (2) identitas pemilik, (3) surat ukur, dan (4) surat penghapusan
dari daftar kapal yang diterbitkan oleh negara asal. Padahal persyaratan yang
tertuang dalam IPOA on IUU fishing sangat banyak, yaitu: (1) nama; (2) nomor registrasi;
(3) registrasi pelabuhan; (4) tanda penghubung radio; (5) dimana dan kapal
dibuat; (6) tipe kapal; (7) metode dan tipe alat tangkap; (8) tonase; (9)
panjang; (10) moulded depth; (11) kekuatan mesin; (12) gambar kapal ketika
registrasi; (13) nama dan alamat pemilik; (14) nama dan alamat operator; (15) nama
perusahaan yang menggunakan kapal; (16) sejarah kepemilikan dan kemungkinan
informasi IUU fishing; dan (17) aktivitas lokasi penangkapan. Kelemahan inilah
yang salah satunya menyebabkan perairan Indonesia menjadi surga bagi
kapal-kapal asing untuk menjarah sumberdaya ikan. Di sisi lain, ada aturan yang
sangat rumit membebani nelayan kecil.
Keenam,
pemerintah harus menjelaskan masalah pengaturan daerah dan jalur penangkapan
ikan (Pasal 37) secara gamblang. Hal ini dikarenakan, permasalahan daerah dan
jalur tangkapan inilah yang kerap menimbulkan konflik. Apalagi ketidakjelasan
mengenai batas wilayah tangkapan dihadapkan pada Undang-undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal itu disebutkan bahwa kabupaten
dan kota mempunyai wewenang hingga 4 mil ke arah laut, sedangkan provinsi
sejauh 12 mil.
Ketujuh,
kebebasan nelayan kecil untuk melakukan penangkapan ikan di seluruh wilayah
pengelolaan perikanan (WPP) Republik Indonesia (Pasal 61). Pasal ini
menimbulkan ketidakjelasan yang berujung pada konflik. Bahkan, hadirnya pasal
ini mencerminkan ketidaktahuan DKP akan adanya kearifan local yang dikenal
dengan hak ulayat laut, dimana boro-boro nelayan luar, nelayan lokal pun pada
daerah tertentu yang dilarang tidak boleh melakukan penangkapan ikan. Dengan
kata lain, hak ulayat laut tersebut mempunyai hak khusus dalam melakukan
pengelolaan perikanan demi terciptanya keberlanjutan sumberdaya dan menghindari
konflik. Di antara hak ulayat laut yang masih berlangsung dan mampu menciptakan
perikanan yang berkelanjutan diantaranya adalah Panglima Laot (Nangroe Aceh Darussalam),
Rumpon (Lampung), Kelong (Riau), Awig-awig (Bali dan Lombok), Rompong (Sulawesi
Selatan), Sasi (Maluku) serta beberapa hak ulayat laut yang ada di wilayah
Kawasan Timur Indonesia (KTI) seperti di Desa Para, Salurang, Ratotok dan
Bentenan (Sulawesi Tenggara) serta Desa Endokisi (Papua). Oleh karenanya,
dengan berdasar pada kebebasan nelayan kecil yang pengertiannya tidak jelas tersebut,
secara tidak sadar pemerintah telah ”membenturkan” nelayan kepada konflik yang berkepanjangan,
sungguh sangat tragis. Dengan demikian, pasal ini harus segera mendapatkan
perhatian guna tidak memperpanjang angka konflik antar nelayan dikemudian hari.
Berbeda
dengan UU No 9 Tahun 1985, UU No 31
Tahun 2004 ternyata tidak memberikan suatu perhatian khusus terhadap apa yang
dinamakan dengan pemanfaatan sumber daya ikan. Hal ini setidaknya tanpak dari; Pertama, dalam UU No 31 Tahun 2004
tidak ditemukan defenisi atau tidak
memberikan defenisi terhadap apa yang disebut dengan pemanfaatan sumber daya
ikan. Namun dalam pemberian defenisi terhadap “perikanan” hal pemanfaatan sumber daya ikan menjadi
unsur yang pokok dalam rumusan perikanan. Kedua,
dalam UU No 31 tahun 2004 tidak ditemukan suatu bab khusus yang mengatur soal
pemanfaatan sumber daya ikan sebagaimana adanya pada UU No 9 Tahun 1986. Ketiga, dalam UU No 31 Tahun 2004 tidak
jelas pada bagian pengaturan mana soal pemanfaatan sumber daya ikan itu
berorientasi, apakah masih dalam konteks usaha perikanan ataukah tidak. Ataukah
soal pemafaatan sumber daya ikan itu menyelusup pada seluruh ketentuan dari UU
No 31 Tahun 2004.
Bahkan
dalam UU No 45 Tahun 2009 sebagai UU Perubahan Atas UU No 31 Tahun 2004 juga
tidak terlihat adanya perumusan dan pengaturan terhadap unsur “pemanfaatan
sumber daya ikan” dari konsep pendefenisian terhadap
“perikanan”. Persoalan tidak jelasnya
bagaimana kedudukan pengaturan terhadap soal pemanfaatan sumber daya ikan itu,
selain merupakan suatu kelemahan dari penyusunan regulasi, disisi lain akan
berpengaruh pada manajemen pengelolaan perikanan di Indonesia.
C.
Revisi
UU No. 31 Tahun 2004 terhadap UU No. 45 Tahun 2009
Revisi
dari dari UU No. 31 Tahun 2004 ialah sebagai berikut :
v Ketentuan
Pasal 1 angka 11 dan angka 24 diubah,
v Ketentuan
Pasal 2 diubah,
v Ketentuan
Pasal 7 diubah,
v Ketentuan
Pasal 9 diubah,
v Ketentuan
Pasal 14 ayat (3) diubah,
v Di
antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 15A,
v Ketentuan
Pasal 18 ditambah 2 (dua) ayat yakni ayat (3) dan ayat (4),
v Ketentuan
Pasal 23 ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (3),
v Ketentuan
Pasal 25 diubah,
v Di
antara Pasal 25 dan Pasal 26 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 25A, Pasal
25B, dan Pasal 25C,
v Ketentuan
Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah, serta ditambah 1 (satu) ayat
yakni ayat (5),
v Ketentuan
Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) diubah, serta ditambah 2 (dua) ayat yakni ayat
(3) dan ayat (4),
v Di
antara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 28A,
v Ketentuan
Pasal 32 diubah,
v Di
antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 35A,
v Ketentuan
Pasal 36 diubah,
v Ketentuan
Pasal 41 diubah,
v Di
antara Pasal 41 dan Pasal 42 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 41A,
v Ketentuan
Pasal 42 diubah,
v Ketentuan
Pasal 43 diubah,
v Ketentuan
Pasal 44 ayat (1) diubah,
v Ketentuan
Pasal 46 diubah,
v Ketentuan
Pasal 48 ayat (1) diubah, serta di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1
(satu) ayat yakni ayat (1a),
v Ketentuan
Pasal 50 diubah,
v Ketentuan
Pasal 65 ayat (1) dihapus,
v Ketentuan
Pasal 66 ayat (2) dan ayat (3) diubah,
v Di
antara Pasal 66 dan Pasal 67 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 66A, Pasal
66B, dan Pasal 66C,
v Ketentuan
Pasal 69 diubah,
v Ketentuan
Pasal 71 diubah,
v Di
antara Pasal 71 dan Pasal 72 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 71A,
v Ketentuan
Pasal 73 diubah,
v Ketentuan
Pasal 75 diubah,
v Ketentuan
Pasal 76 ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (9),
v Di
antara Pasal 78 dan Pasal 79 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 78A,
v Di
antara Pasal 83 dan Pasal 84 disisipkan 1 (satu)pasal yakni Pasal 83A,
v Ketentuan
Pasal 85 diubah,
v Ketentuan
Pasal 93 diubah,
v Di
antara Pasal 94 dan Pasal 95 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 94A,
v Ketentuan
Pasal 98 diubah,
v Di
antara Pasal 100 dan Pasal 101 disisipkan 4 (empat) pasal yakni Pasal 100A,
Pasal 100B, Pasal 100C, dan Pasal 100D,
v Ketentuan
Pasal 105 dihapus.
v Ketentuan
Pasal 110 diubah,
v Di
antara Pasal 110 dan Pasal 111 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 110A,
Semua bunyi pasal dari hasil revisi
UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
diatas terlampir pada UU No. 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
D.
Saran
Penambahan Butir-Butir dalam UU No. 45 Tahun 2009
Adapun saran
yang ingin kami ajukan ialah diharapkan kembali agar pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya ikan dimasukkan kedalam pasal 1 mengenai definisinya serta
penambahan bab tertentu yang mengkaji lebih jauh tentang pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya ikan tersebut seperti yang terdapat pada UU No. 9 Tahun
1985 sehingga mencakup lebih kompleks mengenai tata aturan mengenai perikanan
yang ada di Negara kita. Karena meski terdapat penjelasan yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya
perikanan, seperti “salah satunya dilakukan dengan pengendalian usaha perikanan
melalui pengaturan pengelolaan perikanan”. Sementara itu dalam bagian lain dari
penjelasan UU No 45 tahun 2009 tersebut
diungkap pula “dibutuhkankan dasar hukum pengelolaan sumber daya ikan
yang mampu menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan”. Namun
penjelasan ini tidak ditemukan apa yang dimaksud dengan pemanfatan dan
pengelolaan sumberdaya ikan menjadi menjadi objek utama dari UU No. 45 Tahun
2009 sehingga perlu adanya bab khusus yang menjelaskan tentang pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya ikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar