Minggu, 10 Juni 2012

“Kelebihan, Kekurangan dan Revisi UU No. 31 Tahun 2004 terhadap UU No. 45 Tahun 2009 serta Saran Penambahan Butir-butir dalam UU No, 45 tahun 2009”


UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN PERIKANAN



OLEH :
LA HAKIM (I1A1 08 082)
ALFIAN (I1A1 09 078)
LA ODE KHAIRUM MASTU (I1A1 10 011)
MUHAMMAD ILHAM (I1A1 10 049)
FAJARWATI (I1A1 10 145)


A.      Kelebihan UU No. 31 Tahun 2004 Terhadap UU No. 45 Tahun 2009
Kelebihan UU No. 31 Tahun 2004 terhadap UU No. 45 Tahun 2009 ialah sebagai berikut :
a.       Bahwa Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan cukup menampung semua aspek pengelolaan sumberdaya perikanan khususnya sumberdaya ikan dan telah mampu mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan teknologi dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan.
b.      Undang-undang No. 31 Tahun 2004 telah malakukan pengelolaan perikanan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan.
c.       Pengelolaan UU  No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan dilakukan dengan memperhatikan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
d.      Penguatan kelembagaan dibidang pelabuhan perikanan, dan kapal perikanan telah direalisasikan
e.       Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, baik yang berada di perairan Indonesia, Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, maupun laut lepas telah dilakukan pengendalian melalui pembinaan perizinan dengan memperhatikan kepentingan Nasional dan Internasional sesuai dengan kemampuan sumberdaya ikan yang tersedia.
f.       Pengelolaan perikanan yang telah memenuhi unsure pembangunan yang berkesinambungan, yang didukung dengan penelitian dan pengembangan perikanan serta pengendalian yang terpadu
g.      Pengawasan perikanan telah dilakukan
h.      Pengelolaan perikanan dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan dibidang perikanan telah dilaksanankan dan terealisasi.
B.       Kelemahan UU No. 31 Tahun 2004 Terhadap UU No. 45 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan masih belum mampu mengantisipasi perkembangan teknologi serta perkembangan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya ikan dan belum dapat menjawab permasalahan tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan terhadap beberapa substansi, baik menyangkut aspek manajemen, birokrasi, maupun aspek hukum.
Kelemahan pada aspek manajemen pengelolaan perikanan antara lain belum terdapatnya mekanisme koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan perikanan. Sedangkan pada aspek birokrasi, antara lain terjadinya benturan kepentingan dalam pengelolaan perikanan. Kelemahan pada aspek hukum antara lain masalah penegakan hukum, rumusan sanksi, dan yurisdiksi atau kompetensi relatif pengadilan negeri terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar kewenangan pengadilan negeri tersebut.
Disisi lain untuk mengetahui lebih jauh mengenai kelemahan UU No.31 Tahun 2004 ialah sebagai berikut :
Pertama, mengenai pengawasan dan penegakan hukum menyangkut masalah mekanisme koordinasi antar instansi penyidik dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan, penerapan sanksi (pidana atau denda), hukum acara, terutama mengenai penentuan batas waktu pemeriksaan perkara, dan fasilitas dalam penegakan hukum di bidang perikanan, termasuk kemungkinan penerapan tindakan hukum berupa penenggelaman kapal asing yang beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
Kedua, masalah pengelolaan perikanan antara lain kepelabuhanan perikanan, konservasi, perizinan, dan kesyahbandaran.
Ketiga, masih diperlukan perluasan yurisdiksi pengadilan perikanan sehingga mencakup seluruh wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
Di samping itu perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juga mengarah pada keberpihakan kepada nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil antara lain dalam aspek perizinan, kewajiban penerapan ketentuan mengenai sistem pemantauan kapal perikanan, pungutan perikanan, dan pengenaan sanksi pidana.
Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa substansi atau materi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 lebih banyak dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985. Namun, banyaknya materi yang diatur bukan berarti undang-undang tersebut sudah lengkap dan sesuai dengan aspirasi serta kehendak masyarakat, antara lain:
Pertama, pengertian nelayan kecil (Pasal 1 butir 11). Disebutkan bahwa nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (subsisten). Pengertian ini menimbulkan ketidakjelasan, karena batasannya tidak ada, apakah batasannya berdasarkan pada besar atau kecilnya alat tangkap yang digunakan atau berdasarkan besar atau kecilnya pendapatan dari hasil tangkapan. Lebih dari itu, apakah pengertian nelayan kecil di sini sama dengan pengertian nelayan tradisional. Dengan demikian, batasan atau definisi yang jelas mengenai nelayan kecil harus segera diperjelas.
Kedua, pengelolaan taman nasional laut (Pasal 7 ayat (5)). Sebelum adanya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), taman nasional laut dikelola oleh Departemen Kehutanan. Yang menjadi pertanyaan, apakah DKP telah menyiapkan perangkat institusi yang kuat untuk disebar ke seluruh wilayah Indonesia sebagaimana institusi PHPA mengelola taman laut selama ini. Apabila hal ini diabaikan, dikhawatirkanmkerusakan ekosistem laut akan semakin meluas karena tidak adanya kejelasan lembaga yang mengelola.
Ketiga, pembentukan Dewan Pertimbangan Pembangunan Perikanan Nasional (Pasal 7 ayat (6). Berdasarkan undang-undang ini, Dewan Pertimbangan Pembangunan Perikanan Nasional bertujuan untuk mempercepat pembangunan perikanan, yang ketuanya adalah Presiden dan anggotanya adalah menteri terkait, asosiasi perikanan, dan perorangan yang mempunyai kepedulian terhadap pembangunan perikanan. Lantas yang menjadi pertanyaan, apakah lembaga ini tidak berbenturan dengan lembagasejenis seperti Dewan Maritim Indonesia (DMI) yang mempunyai fungsi dan peran yang sama. Olehkarena itu, pembentukan lembaga ini harus diperjelas fungsi dan perannya agar tidak menjadi lembaga mubadzir.
Keempat, pemberian akses kapal asing (Pasal 29 ayat (1) dan (2)). Pasal 29 ayat (1) menyebutkan bahwausaha perikanan di WPP Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara RI atau badan hokum Indonesia. Namun Pasal 29 ayat (2) menafikannya, disebutkan pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara RI berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Kelima, minimnya kelengkapan persyaratan pendaftaran kapal (Pasal 36). Persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 sangat minim, yaitu: (1) bukti kepemilikan, (2) identitas pemilik, (3) surat ukur, dan (4) surat penghapusan dari daftar kapal yang diterbitkan oleh negara asal. Padahal persyaratan yang tertuang dalam IPOA on IUU fishing sangat banyak, yaitu: (1) nama; (2) nomor registrasi; (3) registrasi pelabuhan; (4) tanda penghubung radio; (5) dimana dan kapal dibuat; (6) tipe kapal; (7) metode dan tipe alat tangkap; (8) tonase; (9) panjang; (10) moulded depth; (11) kekuatan mesin; (12) gambar kapal ketika registrasi; (13) nama dan alamat pemilik; (14) nama dan alamat operator; (15) nama perusahaan yang menggunakan kapal; (16) sejarah kepemilikan dan kemungkinan informasi IUU fishing; dan (17) aktivitas lokasi penangkapan. Kelemahan inilah yang salah satunya menyebabkan perairan Indonesia menjadi surga bagi kapal-kapal asing untuk menjarah sumberdaya ikan. Di sisi lain, ada aturan yang sangat rumit membebani nelayan kecil.
Keenam, pemerintah harus menjelaskan masalah pengaturan daerah dan jalur penangkapan ikan (Pasal 37) secara gamblang. Hal ini dikarenakan, permasalahan daerah dan jalur tangkapan inilah yang kerap menimbulkan konflik. Apalagi ketidakjelasan mengenai batas wilayah tangkapan dihadapkan pada Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal itu disebutkan bahwa kabupaten dan kota mempunyai wewenang hingga 4 mil ke arah laut, sedangkan provinsi sejauh 12 mil.
Ketujuh, kebebasan nelayan kecil untuk melakukan penangkapan ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Republik Indonesia (Pasal 61). Pasal ini menimbulkan ketidakjelasan yang berujung pada konflik. Bahkan, hadirnya pasal ini mencerminkan ketidaktahuan DKP akan adanya kearifan local yang dikenal dengan hak ulayat laut, dimana boro-boro nelayan luar, nelayan lokal pun pada daerah tertentu yang dilarang tidak boleh melakukan penangkapan ikan. Dengan kata lain, hak ulayat laut tersebut mempunyai hak khusus dalam melakukan pengelolaan perikanan demi terciptanya keberlanjutan sumberdaya dan menghindari konflik. Di antara hak ulayat laut yang masih berlangsung dan mampu menciptakan perikanan yang berkelanjutan diantaranya adalah Panglima Laot (Nangroe Aceh Darussalam), Rumpon (Lampung), Kelong (Riau), Awig-awig (Bali dan Lombok), Rompong (Sulawesi Selatan), Sasi (Maluku) serta beberapa hak ulayat laut yang ada di wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) seperti di Desa Para, Salurang, Ratotok dan Bentenan (Sulawesi Tenggara) serta Desa Endokisi (Papua). Oleh karenanya, dengan berdasar pada kebebasan nelayan kecil yang pengertiannya tidak jelas tersebut, secara tidak sadar pemerintah telah ”membenturkan” nelayan kepada konflik yang berkepanjangan, sungguh sangat tragis. Dengan demikian, pasal ini harus segera mendapatkan perhatian guna tidak memperpanjang angka konflik antar nelayan dikemudian hari.
Berbeda dengan UU No 9 Tahun 1985, UU No  31 Tahun 2004 ternyata tidak memberikan suatu perhatian khusus terhadap apa yang dinamakan dengan pemanfaatan sumber daya ikan. Hal ini setidaknya tanpak dari; Pertama, dalam UU No 31 Tahun 2004 tidak ditemukan  defenisi atau tidak memberikan defenisi terhadap apa yang disebut dengan pemanfaatan sumber daya ikan. Namun dalam pemberian defenisi terhadap “perikanan”  hal pemanfaatan sumber daya ikan menjadi unsur yang pokok dalam rumusan perikanan. Kedua, dalam UU No 31 tahun 2004 tidak ditemukan suatu bab khusus yang mengatur soal pemanfaatan sumber daya ikan sebagaimana adanya pada UU No 9 Tahun 1986. Ketiga, dalam UU No 31 Tahun 2004 tidak jelas pada bagian pengaturan mana soal pemanfaatan sumber daya ikan itu berorientasi, apakah masih dalam konteks usaha perikanan ataukah tidak. Ataukah soal pemafaatan sumber daya ikan itu menyelusup pada seluruh ketentuan dari UU No 31 Tahun 2004.
Bahkan dalam UU No 45 Tahun 2009 sebagai UU Perubahan Atas UU No 31 Tahun 2004 juga tidak terlihat adanya perumusan dan pengaturan terhadap unsur “pemanfaatan sumber daya ikan”  dari  konsep pendefenisian terhadap “perikanan”.  Persoalan tidak jelasnya bagaimana kedudukan pengaturan terhadap soal pemanfaatan sumber daya ikan itu, selain merupakan suatu kelemahan dari penyusunan regulasi, disisi lain akan berpengaruh pada manajemen pengelolaan perikanan di Indonesia.
C.      Revisi UU No. 31 Tahun 2004 terhadap UU No. 45 Tahun 2009
Revisi dari dari UU No. 31 Tahun 2004 ialah sebagai berikut :
v  Ketentuan Pasal 1 angka 11 dan angka 24 diubah,
v  Ketentuan Pasal 2 diubah,
v  Ketentuan Pasal 7 diubah,
v  Ketentuan Pasal 9 diubah,
v  Ketentuan Pasal 14 ayat (3) diubah,
v  Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 15A,
v  Ketentuan Pasal 18 ditambah 2 (dua) ayat yakni ayat (3) dan ayat (4),
v  Ketentuan Pasal 23 ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (3),
v  Ketentuan Pasal 25 diubah,
v  Di antara Pasal 25 dan Pasal 26 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 25A, Pasal 25B, dan Pasal 25C,
v  Ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah, serta ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (5),
v  Ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) diubah, serta ditambah 2 (dua) ayat yakni ayat (3) dan ayat (4),
v  Di antara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 28A,
v  Ketentuan Pasal 32 diubah,
v  Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 35A,
v  Ketentuan Pasal 36 diubah,
v  Ketentuan Pasal 41 diubah,
v  Di antara Pasal 41 dan Pasal 42 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 41A,
v  Ketentuan Pasal 42 diubah,
v  Ketentuan Pasal 43 diubah,
v  Ketentuan Pasal 44 ayat (1) diubah,
v  Ketentuan Pasal 46 diubah,
v  Ketentuan Pasal 48 ayat (1) diubah, serta di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a),
v  Ketentuan Pasal 50 diubah,
v  Ketentuan Pasal 65 ayat (1) dihapus,
v  Ketentuan Pasal 66 ayat (2) dan ayat (3) diubah,
v  Di antara Pasal 66 dan Pasal 67 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 66A, Pasal 66B, dan Pasal 66C,
v  Ketentuan Pasal 69 diubah,
v  Ketentuan Pasal 71 diubah,
v  Di antara Pasal 71 dan Pasal 72 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 71A,
v  Ketentuan Pasal 73 diubah,
v  Ketentuan Pasal 75 diubah,
v  Ketentuan Pasal 76 ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (9),
v  Di antara Pasal 78 dan Pasal 79 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 78A,
v  Di antara Pasal 83 dan Pasal 84 disisipkan 1 (satu)pasal yakni Pasal 83A,
v  Ketentuan Pasal 85 diubah,
v  Ketentuan Pasal 93 diubah,
v  Di antara Pasal 94 dan Pasal 95 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 94A,
v  Ketentuan Pasal 98 diubah,
v  Di antara Pasal 100 dan Pasal 101 disisipkan 4 (empat) pasal yakni Pasal 100A, Pasal 100B, Pasal 100C, dan Pasal 100D,
v  Ketentuan Pasal 105 dihapus.
v  Ketentuan Pasal 110 diubah,
v  Di antara Pasal 110 dan Pasal 111 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 110A,
Semua bunyi pasal dari hasil revisi UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan  diatas terlampir pada UU No. 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
D.      Saran Penambahan Butir-Butir dalam UU No. 45 Tahun 2009
Adapun saran yang ingin kami ajukan ialah diharapkan kembali agar pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dimasukkan kedalam pasal 1 mengenai definisinya serta penambahan bab tertentu yang mengkaji lebih jauh tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan tersebut seperti yang terdapat pada UU No. 9 Tahun 1985 sehingga mencakup lebih kompleks mengenai tata aturan mengenai perikanan yang ada di Negara kita. Karena meski terdapat penjelasan yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya perikanan, seperti “salah satunya dilakukan dengan pengendalian usaha perikanan melalui pengaturan pengelolaan perikanan”. Sementara itu dalam bagian lain dari penjelasan UU No 45 tahun 2009 tersebut  diungkap pula “dibutuhkankan dasar hukum pengelolaan sumber daya ikan yang mampu menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan”. Namun penjelasan ini tidak ditemukan apa yang dimaksud dengan pemanfatan dan pengelolaan sumberdaya ikan menjadi menjadi objek utama dari UU No. 45 Tahun 2009 sehingga perlu adanya bab khusus yang menjelaskan tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar