BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Jumlah industri untuk menghasilkan berbagai macam produk
dalam memenuhi kebutuhan manusia saat ini semakin tinggi. Selain menghasilkan
produk yang dapat digunakan oleh manusia, kegiatan produksi ini juga
menghasilkan produk lain yang belum begitu banyak dimanfaatkan yaitu limbah.
Seiring dengan peningkatan industri ini, juga akan terjadi peningkatan jumlah
limbah.
Limbah yang dihasilkan dapat memberikan dampak negatif
terhadap sumber daya alam dan lingkungan, seperti gangguan pencemaran alam dan
pengurasan sumber daya alam, yang nantinya dapat menurunkan kualitas lingkungan
antara lain pencemaran tanah, air, dan udara jika limbah tersebut tidak diolah
terlebih dahulu. Bermacam limbah industri yang dapat mencemari lingkungan
antara lain limbah industri tekstil, limbah agroindustri (limbah kelapa sawit,
limbah industri karet remah dan lateks pekat, limbah industri tapioka, dan
limbah pabrik pulp dan kertas), limbah industri farmasi, dan lain-lain. Selain
kegiatan industri, diperkotaan limbah juga dihasilkan oleh hotel, rumah sakit
dan rumah tangga. Bentuk limbah yang dihasilkan oleh komponen kegiatan yang
disebut di atas adalah limbah padat dan limbah cair. Limbah padat dan cair yang
dibuang ke lingkungan langsung dapat menimbulkan keseimbangan alam terganggu
yaitu terjadi pencemaran tanah yang mampu merubah pH tanah, kandungan mineral
berubah dan ganguan nutrisi dari tanah untuk kehidupan tumbuhan serta sumber
air tanah tercemar. Pencemaran air dapat mengganggu biota air, perubahan BOD,
COD serta DO, disamping itu dampak psikologis akibat dari pencemaran lingkungan
yang tidak kalah berbahayanya jika dibandingkan dengan dampak secara fisik.
Air limbah rumah tangga
merupakan sumber yang banyak ditemukan di lingkungan. Salah satu komponennya
yang dapat berdampak buruk bagi lingkungan berasal dari deterjen karena manusia
pasti menggunakan deterjen setiap harinya sebagai bahan pembersih di rumah
tangga. Jenis deterjen yang banyak digunakan di rumah tangga sebagai bahan
pencuci pakaian dan bahkan piring adalah deterjen merek Rinso anti noda.
Deterjen jenis ini mengandung ABS (alkyl benzene sulphonate) yang merupakan
deterjen tergolong keras. Deterjen tersebut sukar dirusak oleh mikroorganisme
(nonbiodegradable) sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan (Rubiatadji, 1993).
Lingkungan perairan yang
tercemar limbah deterjen kategori keras ini dalam konsentrasi tinggi akan
mengancam dan membahayakan kehidupan biota air dan manusia yang mengkonsumsi
biota tersebut. Limbah atau toksikan di alam ada yang bersifat tunggal dan ada
yang campuran. Keberadaannya di lingkungan (terutama perairan) akan
berinteraksi dengan komponen atau faktor lain. Faktor yang mempengaruhi
konsentrasi toksikan adalah sifat fisik kimia toksikan tersebut, sifat fisik kimia biologislingkungan,
dan sumber keluaran dan kecepatan masukan toksikan ke lingkungan.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Apa pengertian dari deterjen
2. Bahan-bahan apa saja yang terkandung
dalam deterjen
3. Apa saja jenis-jenis dari deterjen
4. Bagaimana bahaya deterjen terhadap Kesehatan
Manusia dan Kesehatan Lingkungan
5. Bagaimana Pengolahan Limbah Deterjen
C.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Dapat mengetahui pengertian dari deterjen
2. Untuk mengetahui Bahan-bahan apa
saja yang terkandung dalam deterjen
3. Dapat mengetahui jenis-jenis dari
deterjen
6. Untuk mengetahui bahaya deterjen
terhadap Kesehatan Manusia dan Kesehatan Lingkungan
4. Untuk mengetahui bagaimana Pengolahan
Limbah Deterjen
Manfaat
dapri penulisan makalah ini yaitu sebagai acuan, literature, bacaan maupun informasi kepada seluruh mahasiswa mengenai
pencemaran Deterjen yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Detergen
Detergen adalah pembersih sintetis
campuran berbagai bahan, yang digunakan untuk membantu pembersihan dan terbuat
dari bahan-bahan turunan minyak bumi. Dibanding dengan sabun, detergen
mempunyai keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak
terpengaruh oleh kesadahan air. Kebersihan merupakan salah satu faktor penting
bagi kesehatan masyarakat. Untuk menjaga kebersihan badan, pakaian, tempat
tinggal serta tempat umum dibutuhkan produk pembersih atau sabun cuci yang
dapat diandalkan. Ibu rumah tangga, rumah sakit, sarana umum lain hingga hotel
berbintang lima pasti menjadikan produk yang satu ini sebagai bagian kehidupan
sehari-hari untuk mencuci pakaian maupun peralatan rumah tangga.
Gambar 1. Beberapa Produk Deterjen
Pada awalnya deterjen dikenal
sebagai pembersih pakaian, namun kini meluas dan ditambahkan dalam berbagai
bentuk produk seperti personal cleaning product (sampo, sabun cuci tangan),
laundry sebagai pencuci pakaian merupakan produk deterjen yang paling populer
di masyarakat, dishwashing product sebagai pencuci alat rumah tangga baik untuk
penggunaan manual maupun mesin pencuci piring, household cleaner sebagai
pembersih rumah seperti pembersih lantai, pembersih bahan-bahan porselen,
plastik, metal, gelas (Arifin, 2008).
Detergen mengandung zat aktif permukaan yang serupa dengan
sabun, misalnya natrium benzensulfonat (Na-ABS). Garam kalsium atau magnesium
yang larut dalam air sadah jika bereaksi dengan Na-ABS tetap larut dalam air
dan tidak mengendap.
Molekul sabun terdiri atas dua bagian yaitu bagian yang
bersifat hidrofilik dan yang bersifat hidrofobik. Bagian
hidrofilik adalah bagian yang menyukai air atau bersifat polar. Adapun bagian
hidrofobik adalah bagian yang tidak suka air atau bersifat nonpolar. Kotoran
yang bersifat polar biasanya larut dalam air, sehingga kotoran jenis ini tidak
perlu dibersihkan dengan menggunakan sabun. Kotoran yang bersifat nonpolar,
seperti minyak atau lemak tidak akan hilang jika hanya dibersihkan menggunakan
air. Oleh karena itu, diperlukan detergen sebagai pembersihnya. Ujung hidrofob
detergen yang bersifat nonpolar mudah larut dalam minyak atau lemak dari bahan
cucian. Ketika kamu menggosok atau memeras pakaian membuat minyak atau lemak
menjadi butiran-butiran lepas yang dikelilingi oleh lapisan molekul detergen.
Gugus polarnya berada di luar lapisan sehingga butiran itu larut di air.
B. Bahan-Bahan Detergen
Pada umumnya, bahan-bahan yang terkandung dalam detergen adalah
sebagai berikut:
1.
Surfaktan
Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif
permukaan yang mempunyai ujung berbeda yaitu hidrofil (suka air) dan hidrofob
(suka lemak). Surfaktan ialah molekul organik dengan bagian lifofilik dan
bagian polar, yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga
dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan. Surfaktan
membentuk bagian penting dari semua detergen komersial.
2.
Builder
Builder (pembentuk) berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci
dari surfaktan dengan cara menon-aktifkan mineral penyebab kesadahan air. Bahan
ini ditambahkan untuk menyingkirkan ion kalsium dan magnesium (kesadahan) dari
air pencuci. Pembangun dapat melakukan hal ini lewat pengkelatan (pembentukan
kompleks) atau lewat pertukaran ion-ion ini dengan natrium. Pembangun juga
meningkatkan pH untuk membantu emulsifikasi minyak dan bufer terhadap perubahan
pH. Pembangun yang paling lazim ialah natrium tripolifosfat (5Na+ P3O105-),
tetapi karena limbah fosfat dapat mencemari lingkungan, jumlah yang digunakan
dibatasi oleh peraturan; baru-baru ini, natrium sitrat, natrium karbonat, dan
natrium silikat mulai menggantikan natrium tripolifosfat sebagai pembangun.
3.
Zeolit
Zeolit (natrium aluminosilikat) digunakan sebagai penukar
ion, terutama untuk ion kalsium.
4.
Filler
Filler (pengisi) adalah bahan tambahan Detergen yang tidak
mempunyai kemampuan meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas. Contoh
Sodium sulfat.
5.
Bahan
antiredeposisi (antiedeposition agent)
Bahan antiredeposisi ialah senyawa yang ditambahkan ke
detergen pakaian untuk mencegah pengendapan kembali kotoran pada pakaian.
Contoh yang paling lazim ialah selulosa eter atau ester.
6.
Aditif
Aditif adalah bahan suplemen / tambahan untuk membuat produk
lebih menarik, misalnya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dst, tidak
berhubungan langsung dengan daya cuci Detergen. Additives ditambahkan lebih
untuk maksud komersialisasi produk. Contoh : Enzim, Boraks, Sodium
klorida, Carboxy Methyl Cellulose (CMC).
C. Jenis-Jenis Detergen
Kita tentu sudah akrab dengan detergen, selama ini kita mengenal
detergen sebagai bubuk pembersih pakaian. Sebenarnya Detergen adalah senyawa
organik, yang memiliki dua kutub dan bersifat non-polar karakteristik. Ada tiga
jenis Detergen yaitu anionic, kationik, dan non-ionik. Anionic dan permanen
kationik memiliki muatan negatif dan positif yang melekat pada non-polar
(hidrofobik) CC rantai. Detergen non-ionik tidak mempunyai muatan ion tetap,
hal ini terjadi karena mereka memiliki jumlah atom yang lemah elektropositif
dan elektronegatif yang disebabkan oleh kekuatan menarik elektron atom oksigen.
Ada dua jenis karakteristik detergen yang berbeda yaitu
fosfat Detergen dan surfaktan Detergen. Pada umumnya Detergen yang mengandung
fosfat akan terasa panas ditangan, sedangkan surfaktan adalah jenis Detergen
yang sangat beracun. Perbedaan kedua jenis detergen itu adalah Detergen
surfaktan lebih berbusa dan bersifat emulsifying Detergen. Disisi lain fosfat
detergen adalah Detergen yang membantu menghentikan kotoran dalam air. Zat yang
terkandung didalam detergen juga digunakan dalam formulasi dalam pestisida.
Degradasi alkylphenol polyethoxylates (non-ion) dapat menyebabkan pembentukan
alkylphenols (terutama nonylphenols) yang bertindak sebagai endokrin pengganggu
jika limbah detergen bercampur dengan air limbah lain di saluran air.
Berdasarkan bentuk fisiknya, Detergen dibedakan atas 3 yatu
sebagai berikut:
1. Detergen
Cair, secara
umum Detergen cair hampir sama dengan Detergen bubuk. Yang membedakan cuma
bentuk fisik. Di indonesia setahu saya Detergen cair ini belum dikomersilkan,
biasanya digunakan untuk laundry modern menggunakan mesin cuci yang
kapasitasnya besar dengan teknologi canggih.
2. Detergen
krim, bentuk
Detergen krim dengan sabun colek hampir sama tetapi kandungan formula bahan
baku keduanya berbeda.
3. Detergen
bubuk, jenis
Detergen bubuk ini yang beredar dimasyarakat atau dipakai sewaktu mencuci
pakaian. Berdasarkan keadaan butirannya, Detergen bubuk dapat dibedakan menjadi
dua yaitu Detergen bubuk berongga dan Detergen bubuk padat. Perbedaan bentuk
butiran kedua kelompok tersebut disebabkan oleh perbedaan proses pembuatannya.
Menurut
kandungan gugus aktifnya detergen diklasifikasikan sebagai deterjen jenis keras
dan jenis lunak. Deterjen jenis keras sukar dirusak oleh mikroorganisme
meskipun bahan deterjen tersebut dibuang akibatnya zat tersebut masih aktif.
Jenis inilah yang menyebabkan pencemaran air. Salah satu contohnya adalah Alkil
Benzena Sulfonat (ABS). Sedangkan detergen jenis lunak, bahan penurun tegangan
permukaannya mudah dirusak oleh mikroorganisme, sehingga tidak aktif lagi
setelah dipakai, misalnya Lauril Sulfat atau Lauril Alkil Sulfonat. (LAS) (Widiyani,
2010).
D.
Bahaya
Detergen Terhadap Kesehatan Manusia dan Kesehatan Lingkungan
Kemampuan deterjen untuk menghilangkan berbagai kotoran yang
menempel pada kain atau objek lain, mengurangi keberadaan kuman dan bakteri
yang menyebabkan infeksi dan meningkatkan umur pemakaian kain, karpet,
alat-alat rumah tangga dan peralatan rumah lainnya, sudah tidak diragukan lagi.
Oleh karena banyaknya manfaat penggunaan deterjen sehingga menjadi bagian
penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat modern.
Tanpa mengurangi makna manfaat deterjen dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari, harus diakui bahwa bahan kimia yang digunakan pada
deterjen dapat menimbulkan dampak negatif baik terhadap kesehatan maupun
lingkungan. Dua bahan terpenting dari pembentuk deterjen yakni surfaktan dan
builders, diidentifikasi mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung
terhadap manusia dan lingkungannya.
Gambar
2. Pencemaran Deterjen
Umumnya deterjen yang digunakan sebagai pencuci
pakaian/laundry merupakan deterjen anionik karena memiliki daya bersih yang
tinggi. Pada deterjen anionik sering ditambahkan zat aditif lain (builder)
seperti golongan ammonium kuartener (alkyldimetihylbenzyl-ammonium cloride,
diethanolamine/ DEA), chlorinated trisodium phospate (chlorinated TSP) dan
beberapa jenis surfaktan seperti sodium lauryl sulfate (SLS), sodium laureth
sulfate (SLES) atau linear alkyl benzene sulfonate (LAS). Golongan ammonium
kuartener ini dapat membentuk senyawa nitrosamin. Senyawa nitrosamin diketahui
bersifat karsinogenik, dapat menyebabkan kanker (Widiyani, 2010).
Senyawa sodium lauryl sulfate (SLS) diketahui menyebabkan
iritasi pada kulit, memperlambat proses penyembuhan dan penyebab katarak pada
mata orang dewasa.
Pembuangan limbah ke sungai/sumber-sumber air tanpa
treatment sebelumnya, mengandung tingkat polutan organik yang tinggi serta
mempengaruhi kesesuaian air sungai untuk digunakan manusia dan merangsang
pertumbuhan alga maupun tanaman air lainnya. Selain itu deterjen dalam badan
air dapat merusak insang dan organ pernafasan ikan yang mengakibatkan toleransi
ikan terhadap badan air yang kandungan oksigennya rendah menjadi menurun. Ikan
membutuhkan air yang mengandung oksigen paling sedikit 5 mg/ liter atau 5 ppm
(part per million). Apabila kadar oksigen kurang dari 5 ppm, ikan akan mati,
tetapi bakteri yang kebutuhan oksigen terlarutnya lebih rendah dari 5 ppm akan
berkembang. Apabila sungai menjadi tempat pembuangan limbah yang mengandung
bahan organik, sebagian besar oksigen terlarut digunakan bakteri aerob untuk
mengoksidasi karbon dan nitrogen dalam bahan organik menjadi karbondioksida dan
air. Sehingga kadar oksigen terlarut akan berkurang dengan cepat dan akibatnya
hewan-hewan seperti ikan, udang dan kerang akan mati (Widiyani, 2010).
Keberadaan busa-busa
di permukaan air juga menjadi salah satu penyebab kontak udara dan air terbatas
sehingga menurunkan oksigen terlarut. Dengan demikian akan menyebabkan
organisme air kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan kematian (Ahsan, 2005).
Selain itu pencemaran akibat deterjen mengakibatkan
timbulnya bau busuk. Bau busuk ini berasal dari gas NH3 dan H2S yang merupakan
hasil proses penguraian bahan organik lanjutan oleh bakteri anaerob.
Fosfat memegang peranan penting dalam produk deterjen,
sebagai softener air dan Builders. Bahan ini mampu menurunkan kesadahan air
dengan cara mengikat ion kalsium dan magnesium. Berkat aksi softenernya,
efektivitas dari daya cuci deterjen meningkat. Fosfat pada umumnya berbentuk
Sodium Tri Poly Phosphate (STPP). Fosfat tidak memiliki daya racun, bahkan
sebaliknya merupakan salah satu nutrisi penting yang dibutuhkan mahluk hidup.
Tetapi dalam jumlah yang terlalu banyak, fosfat dapat menyebabkan pengkayaan
unsur hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan air sungai/danau, yang
ditandai oleh ledakan pertumbuhan algae dan eceng gondok yang secara tidak
langsung dapat membahayakan biota air dan lingkungan. Di beberapa negara Eropa,
penggunaan fosfat telah dilarang dan diganti dengan senyawa substitusi yang
relatif lebih ramah lingkungan (Anonimous, 2009).
Ahsan (2005) menyatakan bahwa penghilangan jumlah fosfat
dapat dilakukan dengan adsorpsi sederhana serta efisiensi penghilangan ion
fosfat dengan concentrate menurun dengan peningkatan suhu, sementara
peningkatan suhu pada shell (kerang) cenderung dapat meningkatkan efisiensi ion
fosfat dari 20% menjadi 55%. Oleh karena itu, penghilangan ion fosfat dengan
shell dilakukan pada suhu yang relatif
tinggi.
Deterjen sangat berbahaya bagi lingkungan karena dari
beberapa kajian menyebutkan bahwa detergen memiliki kemampuan untuk melarutkan
bahan dan bersifat karsinogen, misalnya 3,4 Benzonpyrene, selain gangguan
terhadap masalah kesehatan, kandungan detergen dalam air minum akan menimbulkan
bau dan rasa tidak enak. Deterjen kationik memiliki sifat racun jika tertelan
dalam tubuh, bila dibanding deterjen jenis lain (anionik ataupun non ionik).
Terdapat dua ukuran yang digunakan untuk melihat sejauh mana
produk-produk kimia (deterjen) aman di lingkungan yaitu daya racun (toksisitas)
dan daya urai (biodegradable). ABS dalam lingkungan mempunyai tingkat
biodegradable sangat rendah, sehingga deterjen ini dikategorikan sebagai
‘non-biodegradable’
Dalam pengolahan limbah konvensional, ABS tidak dapat
terurai, sekitar 50% bahan aktif ABS lolos dari pengolahan dan masuk dalam
sistem pembuangan. Hal ini dapat menimbulkan masalah keracunan pada biota air
dan penurunan kualitas air sehingga pada perkembangannnya digantikan
dengan LAS mempunyai karakteristik lebih
baik, meskipun belum dapat dikatakan ramah lingkungan. LAS mempunyai gugus
alkil lurus/ tidak bercabang yang dengan mudah dapat diurai oleh
mikroorganisme.
LAS relatif mudah didegradasi secara biologi dibanding ABS.
LAS bisa terdegradasi sampai 90 persen. Akan tetapi prorsesnya sangat lambat,
karena dalam memecah bagian ujung rantai kimianya khususnya ikatan o-mega harus
diputus dan butuh proses beta oksidasi, karena itu perlu waktu. Penelitian
Heryani dan Puji (2008 ) mendapatkan hasil bahwa alam membutuhkan waktu 9 hari
untuk menguraikan 50% LAS.
Detergen ABS sangat
tidak menguntungkan karena ternyata sangat lambat terurai oleh bakteri pengurai
disebabkan oleh adanya rantai bercabang pada spektrumya. Dengan tidak terurainya secara biologi deterjen
ABS, lambat laun perairan yang terkontaminasi oleh ABS akan dipenuhi oleh busa,
menurunkan tegangan permukaan dari air, pemecahan kembali dari gumpalan (flock)
koloid, pengemulsian gemuk dan minyak, pemusnahan bakteri yang berguna,
penyumbatan pada pori – pori media filtrasi.
Kerugian lain dari
penggunaan deterjen adalah terjadinya proses eutrofikasi di perairan. Ini
terjadi karena penggunaan deterjen dengan kandungan fosfat tinggi. Eutrofikasi
menimbulkan pertumbuhan tak terkendali bagi eceng gondok dan menyebabkan
pendangkalan sungai. Sebaliknya deterjen dengan rendah fosfat beresiko
menyebabkan iritasi pada tangan dan kaustik. Karena diketahui lebih bersifat
alkalis. Tingkat keasamannya (pH) antara 10 – 12 (Ahsan, 2005).
Gambar
3. pertumbuhan eceng gondok yang pesat akibat Eutrofikasi
Selain merusak lingkungan alam, efek buruk Detergen yang
dirasakan tentu tak lepas dari para konsumennya. Dampaknya juga dapat
mengakibatkan gangguan pada lingkungan kesehatan manusia. Saat seusai kita
mencuci baju, kulit tangan kita terasa kering, panas, melepuh, retak-retak,
gampang mengelupas hingga mengakibatkan gatal dan kadang menjadi alergi.
Surfaktan dapat menyebabkan permukaan kulit kasar, hilangnya kelembaban alami
yang ada pada permukan kulit dan meningkatkan permeabilitas permukaan luar.
Hasil pengujian memperlihatkan bahwa kulit manusia hanya mampu memiliki toleransi
kontak dengan bahan kimia dengan kandungan 1 % LAS dan AOS dengan akibat
iritasi ‘sedang’ pada kulit. Selain itu juga deterjen dalam air buangan dapat
meresap ke air tanah atau sumur-sumur di masyarakat. Air yang tercemar limbah
deterjen tidak baik bagi kesehatan karena dapat menyebabkan kanker. Kanker ini
diakibatkan oleh menumpuknya surfaktan di dalam tubuh manusia (Widiyani, 2010).
E.
Pengolahan
Limbah Deterjen
Detergen merupakan suatu derivatik zat organik sehingga
akumulasinya menyebabkan meningkatnya COD (Chemichal Oxygen Demand) dan BOD
(Biological Oxigen Demand) dan angka permanganat, maka dalam pengolahannya
sangat cocok menggunakan teknik biologi.
Pada beberapa
penelitian membuktikan bahwa alkyl benzena sulfonat (ABS) dapat diuraikan dengan
bakteri Staphylococcus epidermis, Enterobacter gergoviae, Staphylococcus
aureus, Pseudomonas facili, Pseudomonas fluoroscens, Pseudomonas euruginosa,
Kurthia zopfii, dan sebagainya. Bakteri ini akan merombak detergen yang juga
merupakan zat organik sebagai bahan makanan menjadi energi.
Penggunaan alat Trickling Filter, yaitu teknik untuk
meningkatkan kontak dari air limbah dengan mikroorganisme pemakan bahan-bahan
organik yang mengambil oksigen untuk metabolismenya dapat dipergunakan sebagai
pengolahan limbah deterjen skala rumah tangga. Diawali dengan mengembangbiakkan
bakteri pada media pecahan genteng selama 40 hari dalam limbah rumah tangga
yang ada di selokan, kemudian dilakukan treatment/sirkulasi terhadap limbah
deterjen sintetik pada Trickling Filter dan dianalisa nilai konsentrasi LAS
dengan pengujian MBAS (Metylene Blue Active Surfactan). media pertumbuhan
mikroorganisme adalah pecahan genteng yang direndam dalam selokan 40 hari.
Jenis mikroorganisme yang ada di selokan antara lain Crenothrix &
Sphaerotilus, Chromatium & Thiobacillus, mikroalgae hijau & biru,
Salmonella typhi, Salmonella paratyphi, Shigella shigae, Eschericia Coli.
Pengamatan langsung dengan menggunakan mikroskop dan pengecatan gram
menunjukkan bahwa komunitas mikroba didominasi oleh bakteri gram negatif,
menemukan komunitas bakteri dari golongan Proteobacteria mendominasi komunitas
bakteri yang mampu mendegradasi deterjen. Pertumbuhan mikroorganisme ini
berlangsung cukup lama karena dipengaruhi oleh suhu dan nutrisi yang diperlukannya.
Deterjen akan mengalami penurunan kadar LAS dengan semakin bertambahnya waktu.
Hal ini disebabkan mikroorganisme aerobik yang memakan zat yang terkandung
dalam deterjen. Kemampuan mikroba terutama bakteri dalam menggunakan deterjen
sebagai sumber karbon utama menunjukkan bahwa bakteri memegang peran penting.
Deterjen dengan kadar LAS yang besar membutuhkan waktu peruraian yang lebih
lama dan deterjen dengan kadar LAS yang kecil akan lebih cepat terurai.
Dan semakin lama waktu sirkulasi limbah
deterjen maka kadar LAS pada ketiga merek deterjen yang diteliti akan semakin
mengalami penurunan, karena waktu kontak antara air deterjen dan mikroorganisme
aerob semakin lama sehingga memberikan waktu yang cukup lama pula bagi bakteri
untuk menguraikan deterjen (Heryani dan Puji, 2008).
Gambar 4. Proses pengolahan limbah
rumah tanggga dengan Biofilter
Penanganan dengan cara lumpur aktif juga dapat dikembangkan
, dan dapat menurunkan COD, BOD 30 – 70 %, bergantung pada karakteristik air
limbah yang, diolah dan kondisi proses lumpur aktif yang dilakukan. Proses
lumpur aktif terus berkembang dengan berbagai modifikasinya, antara lain
oxidation ditch dan kontak-stabilisasi. Dibandingkan dengan proses lumpur aktif
konvensional, oxidation ditch mempunyai beberapa kelebihan, yaitu efisiensi
penurunan BOD dapat mencapai 85%-90% (dibandingkan 80%-85%) dan lumpur yang
dihasilkan lebih sedikit. Selain
efisiensi yang lebih tinggi (90%-95%), kontak stabilisasi mempunyai kelebihan yang
lain, yaitu waktu detensi hidrolis total lebih pendek (4-6 jam).
Dengan tangki septic-filter up flow yang berisi pecahan batu bata sebagai media
hidup mikroba sanggup mereduksi kandungan Metylene Blue Active Surfactan atau
MBAS (untuk mendeteksi kandungan detergen) hingga mencapai efesiensi 87,93
persen. Dari sampel, air limbah yang sebelum dimasukkan tangki memiliki
kandungan MBAS sekitar 2,7 mg per liter. Setelah keluar tangki, air hanya
mengandung MBAS sekitar 0,326 mg per liter, atau lebih rendah dari baku mutu
yang digariskan, yakni 0,5 mg per liter. Adapun BOD yang didapat adalah 483,75
mg per liter (sebelum proses) dan 286,25 mg per liter (setelah proses) atau
kandungan BOD berkurang 40 persen lebih.
Mendestabilkan partikel deterjen dapat dimanfaatkan sebagai
pengolahan limbah karena detergen mempunyai sifat koloid. Karakteristik dari
partikel koloid dalam air sangat dipengaruhi oleh muatan listrik dan kebanyakan
partikel tersuspensi bermuatan negative. Cara mendestabilkan atau merusak
kestabilan partikel dilakukan dalam dua tahap. Pertama dengan mengurangi muatan
elektrostatis sehingga menurunkan nilai potensial zeta dari koloid, proses ini
lazim disebut sebagai koagulasi. Kedua adalah memberikan kesempatan kepada
partikel untuk saling bertumbukan dan bergabung, cara ini dapat dilakukan
dengan cara pengadukan dan disebut sebagai flokulasi.
Pengurangan muatan elektris dilakukan dengan menambahkan
koagulan seperti PAC. Di dalam air PAC akan terdisposisi melepaskan kation Al3+
yang akan menurunkan zeta potensial dari partikel. Sehingga gaya tolak-menolak
antar partikel menjadi berkurang, akibatnya penambahan gaya mekanis seperti
pengadukan akan mempermudah terjadinya tumbukan yang akan dilanjutkan dengan
penggabungan partikel-partikel yang akan membentuk flok yang berukuran lebih
besar. Flok akan diendapkan pada unit sedimentasi maupun klarifikasi. Lumpur
yang terbentuk akan dibuang menggunakan scraper. Cara koagulasi umumnya
berhasil menurunkan kadar bahan organik (COD, BOD) sebanyak 40-70 %.
Detergen mampu memecah minyak dan lemak membentuk emulsi
sehingga dapat diendapkan dengan menambahkan inhibitor garam alkali seperti
kapur dan soda. Buih yang terbentuk akan dapat dihilangkan dengan proses
skimming (penyendokan buih) atau flotasi.
Proses flotasi banyak digunakan untuk menyisihkan bahan-bahan
yang mengapung juga dapat digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan
tersuspensi (clarification) atau pemekatan lumpur endapan (sludge thickening)
dengan memberikan aliran udara ke atas (air flotation).
Adsorpsi menggunakan karbon aktif dapat digunakan untuk
mengurangi kontaminasi detergen. Detergen yang merupakan molekul organik akan
ditarik oleh karbon aktif dan melekat pada permukaannya dengan kombinasi dari
daya fisik kompleks dan reaksi kimia. Karbon aktif memiliki jaringan porous
(berlubang) yang sangat luas yang berubah-ubah bentuknya untuk menerima molekul
pengotor baik besar maupun kecil. Zeolit dapat menurunkan COD 10-40%, dan
karbon aktif dapat menurunkan COD 10-60 %.
Detergen mempunyai ikatan – ikatan organik. Proses
khlorinasi akan memecah ikatan tersebut membentuk garam ammonium khlorida
meskipun akan menghasilkan haloform dan trihalomethans jika zat organiknya
berlebih (Arifin, 2008).
Air limbah deterjen tidak dapat dibuang ke septic tank
seperti pada kotoran manusia (black water) karena memiliki kandungan detergen
yang dapat membunuh bakteri pengurai yang dibutuhkan septic tank. Karena itu,
diperlukan pengolahan khusus yang dapat menetralisasi kandungan detergen dan
juga menangkap lemak.
Cara yang paling sederhana mengatasi pencemaran air limbah
adalah dengan menanami selokan dengan tanaman air yang bisa menyerap zat
pencemar. Tanaman yang bisa digunakan, antara lain jaringao, Pontederia cordata
(bunga ungu), lidi air, futoy ruas, Thypa angustifolia (bunga coklat), melati
air, dan lili air. Cara ini sangat mudah, tapi hanya bisa menyerap sedikit zat
pencemar dan tak bisa menyaring lemak dan sampah hasil dapur yang ikut terbuang
ke selokan.
Cara yang lebih efektif adalah membuat instalasi pengolahan
yang sering disebut dengan sistem pengolahan air limbah (SPAL) dengan cara
mudah, bahan murah dan tidak sulit diterapkan di rumah Anda. Instalasi SPAL
terdiri dari dua bagian yaitu bak pengumpul dan tangki resapan. Di dalam bak
pengumpul terdapat ruang untuk menangkap sampah yang dilengkapi dengan kasa 1
cm persegi, ruang untuk penangkap lemak, dan ruang untuk menangkap pasir.
Tangki resapan dibuat lebih rendah dari bak pengumpul agar air dapat mengalir
lancar. Di dalam tangki resapan ini terdapat arang dan batu koral yang
berfungsi untuk menyaring zat-zat pencemar yang ada dalam air limbah deterjen
(greywater). Mekanisme kerja SPAL dengan cara air bekas deterjen atau bekas
sabun dialirkan ke ruang penangkap sampah yang telah dilengkapi dengan saringan
di bagian dasarnya. Sampah akan tersaring dan air akan mengalir masuk ke ruang
di bawahnya. Jika air mengandung pasir, pasir akan mengendap di dasar ruang
ini, sedangkan lapisan minyak, karena berat jenisnya lebih ringan, akan
mengambang di ruang penangkap lemak. Air yang telah bebas dari pasir, sampah,
dan lemak akan mengalir ke pipa yang berada di tengah-tengah tangki resapan.
Bagian bawah pipa tersebut diberi lubang sehingga air akan keluar dari bagian
bawah. Sebelum air menuju ke saluran pembuangan, air akan melewati penyaring
berupa batu koral dan batok kelapa. Limbah deterjen atau air sabun yang telah
diolah dapat digunakan lagi untuk menyiram tanaman, mengguyur kloset, dan untuk
mencuci mobil. Di Singapura dan negara-negara maju bahkan diolah lagi menjadi
air minum (Anonimous, 2009).
Salah satu cara pengolahan limbah deterjen dan air sabun
yang diterapkan di perusahaan produsen deterjen adalah dengan pembuatan bak
pengumpulan air limbah sisa deterjen. Di dalam bak pengumpulan limbah tersebut
diletakkan pompa celup yang harus terendam air untuk menghindari terbentuknya
gelembung/buih detrejen. Pompa celup ini berfungsi sebagai sirkulasi limbah.
Selanjutnya di luar bak penampungan dibuat bak kecil dan pompa dosing yang
berisi larutan anti deterjen, misalnya jika deterjen yang terbuang banyak mengandung
deterjen anionik, maka untuk menetralisir diberikan larutan deterjen kationik
sebagai anti deterjennya, demikian pula sebaliknya. Kemudian larutan anti
deterjen ini dimasukkan ke dalam bak penampungan dan dilakukan proses
penetralan. Pada proses penetralan, perlu ditentukan kadar deterjen di dalam
bak penampungan dengan analisis deterjen sistem MBAS (Metilen Blue Active
Surfactan) atau dengan sistem Titrasi Yamin yang secara khusus untuk mengetahui
kadar deterjen. Misalnya kadar deterjen 50 ppm dapat dilakukan uji coba dengan
pemberian larutan anti deterjen sebanyak 5 ml per menit dengan pompa dosing
sampai kadar deterjen 0 ppm. (Arifin, 2008).
Bagi pemilik usaha binatu/laundry dapat melakukan upaya
pemilihan deterjen dengan kandungan fosfat yang rendah karena dapat menjadi
pencemaran air disekitarnya. Serta dapat melakukan pengelolaan limbah deterjen
secara sederhana dengan pembuatan bak penampungan khusus, atau dengan
penambahan arang aktif (Widiyani, 2010).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Detergen merupakan salah satu polutan air yang harus
dihilangkan atau diminimalisir penggunaannya. Risiko deterjen yang paling
ringan pada manusia berupa iritasi (panas, gatal bahkan mengelupas) pada kulit
terutama di daerah yang bersentuhan langsung dengan produk. Hal ini disebabkan
karena kebanyakan produk deterjen yang beredar saat ini memiliki derajat
keasaman (pH) tinggi. Dalam kondisi iritasi/terluka, penggunaan produk
penghalus apalagi yang mengandung pewangi, justru akan membuat iritasi kulit
semakin parah. Dalam jangka panjang, air minum yang telah terkontaminasi limbah
deterjen berpotensi sebagai salah satu penyebab penyakit kanker (karsinogenik).
Proses penguraian deterjen akan menghasilkan sisa benzena yang apabila bereaksi
dengan klor akan membentuk senyawa klorobenzena yang sangat berbahaya. Kontak
benzena dan klor sangat mungkin terjadi pada pengolahan air minum, mengingat
digunakannya kaporit (dimana di dalamnya terkandung klor) sebagai pembunuh
kuman pada proses klorinasi. Saat ini, instalasi pengolahan air milik PAM dan
juga instalasi pengolahan air limbah industri belum mempunyai teknologi yang
mampu mengolah limbah deterjen secara sempurna.
Kerugian lain dari penggunaan deterjen adalah terjadinya
proses eutrofikasi di perairan. Ini terjadi karena penggunaan deterjen dengan
kandungan fosfat tinggi. Eutrofikasi menimbulkan pertumbuhan tak terkendali
bagi eceng gondok dan menyebabkan pendangkalan sungai. Sebaliknya deterjen
dengan rendah fosfat beresiko menyebabkan iritasi pada tangan dan kaustik
karena diketahui lebih bersifat alkalis dengan tingkat keasaman (pH) antara 10
– 12.
B.
Saran
Sebagai
alternatif, telah dikembangkan penggunaan zeolite dan citrate sebagai pengganti
fosfat (builder) dalam deterjen karena fosfat dapat menyebabkan pengkayaan
unsur hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan air, sehingga badan air
kekurangan oksigen akibat dari pertumbuhan algae (phytoplankton) yang
berlebihan dan pada akhirnya justru membahayakan kehidupan mahluk air dan
sekitarnya.
Teknik pengolahan detergen dapat dilakukan menggunakan
berbagai macam teknik misalnya biologi yaitu dengan bantuan bakteri,
koagulasi-flokulasi-flotasi, adsorpsi karbon aktif, lumpur aktif, khlorinasi
dan teknik penampungan dalam bak yang murah dan efektif.
Bagi pemilik usaha binatu/laundry dapat melakukan upaya
pemilihan deterjen dengan kandungan fosfat yang rendah serta mengelola limbah
deterjen secara sederhana dengan pembuatan bak penampungan khusus, atau dengan
penambahan arang aktif.
Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen, konsumen
mempunyai hak untuk memperoleh informasi suatu produk secara jelas, hak untuk
memilih dan hak untuk menuntut/menggugat produsen apabila produk mereka tidak
sesuai dengan klaimnya Berkaitan dengan hak konsumen tersebut, diperlukan
transparansi dari produsen mengenai kandungan produk deterjen yang
dihasilkannya dalam bentuk pelabelan komposisi bahan baku.
Penggunaan deterjen seminimal mungkin. Untuk mencegah dampak
lebih parah diperlukan kesadaran konsumen agar hanya memilih produk deterjen
ramah lingkungan. Deterjen ramah lingkungan dapat dilihat dari logo pada
kemasan produk deterjen, walaupun untuk membuktikan produk tersebut benar-benar
ramah lingkungan harus melalui uji laboratorium. Konsumen juga dapat
meminimalikan pemakaian deterjen karena pemakaian dalam kadar kurang atau
maksimal sama dengan takaran yang dianjurkan sudah cukup.
Meluruskan
persepsi masyarakat bahwa deterjen yang menghasilkan busa melimpah mempunyai
daya cuci yang baik adalah tidak benar. Untuk merubah persepsi tersebut,
diperlukan partisipasi baik dari pihak konsumen maupun produsen. Di satu pihak,
konsumen harus tahu bahwa tidak ada kaitan antara daya cuci dan busa melimpah.
Di lain pihak, produsen seharusnya tidak lagi menggunakan ‘busa melimpah’ dalam
mempromosikan produknya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahsan
S. 2005. Effect of Temperature on Wastewater Treatment with Natural and Waste
Materials [Original Paper]. Clean Technology Enviroment Policy. 7:198-202.
Anonimous
2009. Pengolahan Limbah Deterjen dengan Biofilter. http://www. greenradio.fm.
[14 Mei 2013].
Arifin.
2008. Metode Pengolahan Deterjen. http://.wordpress.com [14 Mei 2013].
Heryani.
A, Puji, H. 2008. Pengolahan Limbah Deterjen Sintetik dengan Trickling Filter
[Makalah Penelitian] http://eprints.undip.ac.id
[13 Mei 2013].
Rubiyatadji
R. 1993. Penurunan Kadar Deterjen (Alkyl Benzene Sulphonate) Dalam Air Dengan
Proses Adsorpsi Karbon Aktif. Tugas Akhir. Program Studi Teknik Lingkungan,
ITS, Surabaya.
Widiyani,
P. 2010. Dampak Dan Penanganan Limbah Deterjen. Program Studi Kesehatan
Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Apabila Anda mempunyai kesulitan dalam pemakaian / penggunaan chemical , atau yang berhubungan dengan chemical, jangan sungkan untuk menghubungi, kami akan memberikan konsultasi kepada Anda mengenai masalah yang berhubungan dengan chemical.
BalasHapusSalam,
(Tommy.k)
WA:081310849918
Email: Tommy.transcal@gmail.com
Management
OUR SERVICE
Boiler Chemical Cleaning
Cooling tower Chemical Cleaning
Chiller Chemical Cleaning
AHU, Condensor Chemical Cleaning
Chemical Maintenance
Waste Water Treatment Plant Industrial & Domestic (WTP/WWTP/STP)
Degreaser & Floor Cleaner Plant
Oli industri
Terimakasih. Cukup menginspirasi
BalasHapus