I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 bahwa
konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya yang menjamin
pemanfaatannya secara bijaksana dan bagi sumber daya terbaharui menjamin
kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
nilai keanekaragamannya.
Dalam kegiatan konservasi
terdapat 2 jenis konservasi yang dilakukan yaitu konservasi hayati dan non
hayati dimana konservasi hayati meliputi perlindungan habitat seperti
ekosistem mangrove dan organisme-organisme perairan sedangkan konservasi non hayati
meliputi perlindungan selain habitat dan organism-organisme perairan.
Ekosistem mangrove merupakan
salah satu wilayah pesisir yang menyediakan sejumlah fungsi bagi kehidupan
mahluk hidup lainnya serta berperan aktif dalam menyeimbangkan ekosistem
daratan dan lautan.
Sebagai salah satu sumber daya
penting, mangrove juga sering kali dimanfaatkan oleh manusia sebagai bahan baku
pembuatan rumah, kayu nakar, pengobatan dan sebagainya. Dengan melihat manfaat
yang dihasilkan maka secara langsung masyarakat akan memanfaatkan sumber daya
ini tanpa melihat akibat yang akan ditimbulkan kedepannya. Sehingga bisa
diprediksi denga cermat bahwa sepuluh atau dua puluh tahun kedepan seumberdaya
ini sudah tidak terlihat lagi secara global oleh pandangan mata kita.
Berdasarkan uraian tersebut,
maka peranan konservasi dalam mengkonservasi sumber daya ekosistem mangrove
sangat penting untuk dilakukan karena mengingat fungsi dan peranan ekosistem mangrove yang begitu besar terhadap
kehidupan mahluk hidup utama organisme akuatik yang mendiami ekosistem
mangrove.
B.
Tujuan
dan Manfaat
Tujuan dari
diadakannya paraktek lapang mata kuliah konservasi sumber daya hayati perairan
di Teluk Kendari yang dibuat dalam bentuk laporan, adalah sebagai berikut :
1.
Untuk
mengetahui bagaimana menentuan wilayah konservasi ekosistem mangrove .
2.
Untuk
mengetahui cara merehabilitasi mangrove atau penanaman mangrove dan jenis mangrove
yang direhabilitasi di Teluk Kendari
Manfaat dari kegiatan praktek
lapang mata kuliah konservasi sumberdaya perairan ini adalah sebagai berikut:
1.
Sebagai bahan informasi penting dalam menyelamatkan sumber daya
mangrove dari kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumber daya yang dimaksud.
2.
Sebagai acuan dasar bagi seorang mahasiswa dalam menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan serta sebagai latihan dasar untuk senantiasa
memperhatikan seumberdaya yang perlu untuk diselamatkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Konservasi
Sumber daya Perairan
Konservasi sumber
daya hayati perairan adalah kegiatan perlindungan terhadap sumber daya hayati
perairan agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Kegiatan ini meliputi perlindungan habitat
dan organisme-organisme perairan. (Pangerang,
2013).
Peraturan
Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 Konservasi Sumber daya Hayati perairan yang
meliputi sumber daya ikan adalah upaya melindungi melestarikan dan memanfaatkan
sumber daya ikan untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan
jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Sebagai sarana
pengelolaan perikanan, kawasan konservasi laut memiliki dua fungsi: (1)
Limpahan ikan komoditi pasar dari wilayah perlindungan ke dalam wilayah
penangkapan. (2) Ekspor telur dan larva ikan dari wilayah perlindungan ke
wilayah penangkapan yang dapat meningkatkan kuantitas penangkapan di wilayah
penangkapan.
Menurut
Keputusan Menteri No. 201 Tahun 2004 tentang kriteria baku mutu dan pedoman
tentang kerusakan mangrove yang menyatakan kriteria baku kerusakan mangrove adalah ukuran batas
perubahan fisik dan atau hayati mangrove yang dapat ditenggang, dimana kriteria baku kerusakan mangrove ditetapkan
berdasarkan prosentase luas tutupan dan kerapatan mangrove yang hidup dan
kriteria baku dan pedoman penentuan kerusakan mangrove apabila dipandang perlu,
dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 tahun. kriteria yang ada bahwa
kerapatan >1500 ind/ha (>60 pohon) maka tergolong baik (sangat lebat),
kerapatan ≥1000 - <1500 ind/ha (≥40 - <60 pohon) maka tergolong baik,
kategori sedang sedangkan jika <1000 maka tergolong telah mengalami
kerusakan yang parah.
Tanaman
mangrove Sulawesi Tenggara menunjukkan zonasi spesies sejajar dengan garis
pantai. Spesies zonasi ini juga tercermin dalam kumpulan permukaan serbuk sari.
Rhizophora spp. mendominasi bagian
depan dari ekosistem mangrove, lalu disusul oleh Bruguiera sp. atau Sonneratia
sp. Pertengahan dan belakang bakau didominasi oleh Avicennia sp dan Ceriops
sp dengan Heritiera sp. dan Lumnitzera
sp. juga menunjukkan distribusi lokal (Engelhart, et al., 2007). Selanjutnya (Dahuri, 2003) menambahkan bahwa lebar
dan panjang zonasi dalam satu zonasi yang sama sangat menentukan kerapatan
jenisnya, sehingga apabila kerapatan jenisnya tinggi sangat baik untuk proses
perlindungan khususnya dalam peranan ekologis mangrove.
Gambar 1. Contoh
Peletakan Garis Transek yang mewakili setiap zona mangrove
Sumber
daya hayati perairan dan ekosistemnya perlu dilindungi karena ekosistem peairan
secara umum mempunyai empat fungsi poko bagi kehidupan yaitu (1) fungsi
pendukung kehidupan,
(2) fungsi kenyamanan, (3) fungsi sumber daya alam, dan (4) fungsi penerima
limbah. Dari empat fungsi tersebut, kita dapat mengetahui bahwa kemampuan
fungsi pertama dan kedua sangat bergantung pada dua fungsi terakhir. Oleh
karenanya diharapkan fungsi – fungsi tersebut tetap utuh dan seimbang tanpa
dirusak oleh kegiatan manusia melalui upaya pelestarian yang dilakukan di dalam kawasan konservasi.
B.
Penentuan
Kawasan Konservasi
Kawasan
konservasi laut yang dikembangkan di Indonesia saat ini berupa Suaka Alam Laut
dan Kawasan Pelestarian Laut. Suaka Alam
Laut adalah kawasan laut dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok
sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya
yang juga berfungsi sebagai wilayah system penyangga kehidupan. Berdasarkan fungsinya, Suaka Alam Laut dibagi
menjadi dua, yaitu Cagar Alam Laut dan Suaka Marga Sata Laut. Cagar Alam Laut
(CAL) adalah kawasan yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan,
satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi
dan perkembangannya berlangsung secara alami. Tujuh kriteria yang digunakan dalam
menentukan CAL yaitu : keterwakilan, keaslian (alamiah), keunikan, kelangkaan,
laju kepunahan, keutuhan ekosistem, dan keutuhan sumber daya. (Pangerang,
2013).
Menurut
MacKinon,1990 kriteria Penentuan Kawasan Konservasi yaitu:
1. Karakteristik
atau keunikan ekosistim, misalnya hutan hujan, fauna endemik, ekosistim
pegunungan tropika.
2. Spesies khusus yang diminati, nilai kelangkaan
atau terancam : Badak, burung, arwana dsb.
3. Tempat yang
memiliki keanekaragaman spesies
4. Landskap atau ciri geofisik yang bernilai
estetik atau pengetahuan glasier, Gua
bawah air, Gunung bawah laut , Air terjun.
5. Fungsi
perlindungan Hidrologi, Oseanografi, tanah, air dan iklim
6. Fasilitas
untuk rekreasi alam, wisata, danau, pantai, pegunungan, satwa liar yang menarik
7. Tempat
peninggalan budaya, candi, wrick, kuil,
galian purbakala.
Dalam melakukan pengelolaan Kawasn
Konservasi Perairan wilayah laut dibagi
berdasarkan zonasi dan jarak dari garis
pantai kea rah laut sbb:
1. Kewenangan
Pemerintah Pusat pada jarak diluar 12 mil laut
kearah laut atau kearah perairan
pulau.
2. Kawasan
yang berada dalam wilayah kewenangan
pengelolaan lintas propinsi
3. Perairan
yang memiliki karakteristik tertentu.
Sedangkan pengelolaan kawasan konservasi
dalam lingkup provinsi
adalah perairan paling jauh 12 mil kabupaten/kota,sedangkan pengelolaan yang
dilakukan oleh Kabupaten/kota meliputi
Sepertiga dari wilayah kewenangan propinsi (4 mil laut) dan atau perairan
payau, perairan tawar laut dari garis pantai, dan kawasan konservasi perairan
yang berada dalam lintas yang berada dalam lintas kewenangannya. Dalam
menentukan perencanaan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan harus dibuat
zonasi yang terdiri atas : Zona Inti, Zona perikanan berkelanjutan, Zona
pemanfaatan dan zona lainnya dilindungi berdasarkan : Terancam punah, langka,
daerah penyebaran terbatas (endemik), telah terjadi penurunan jumlah populasi
di alam secara drastis dan tingkat kemampuan reproduksi yang terbatas. (Soedharma, 2011).
C.
Rehabilitasi
dan Konservasi Ekosistem Mangrove
Menurut Peraturan Menteri
Kehutanan, (2004) bahwa rehabilitasi hutan/ekosistem mangrove adalah upaya
mengembalikan fungsi hutan mangrove yang mengalami degradasi kepada kondisi
yang dianggap baik dan mampu mengemban fungsi ekologis dan ekonomis.
Kegiatan rehabilitasi dilakukan untuk
memulihkan kondisi ekosistem mangrove yang telah rusak agar ekosistem mangrove
dapat menjalankan kembali fungsinya dengan baik. Upaya rehabilitasi harus
melibatkan seluruh lapisan masyarakat yang berhubungan dengan kawasan mangrove.
Rehabilitasi kawasan mangrove dilakukan sesuai dengan manfaat dan fungsi yang
seharusnya berkembang, serta aspirasi masyarakat. (Pramudji, 2001).
Ada beberapa cara dalam
melakukan suatu kegiatan rehabilitasi mangrove yaitu: (a) kenali daerah yang
akan direhabilitasi, (b) kenali faktor fisik (pasang surut, pola arus,
kecepatan arus, tipe substrat, dan gelombang), biologi (hama, jenis mangrove
yang dominan, ketahanan bibit, penyakit buah mangrove, gulam, dan epifauna) dan
kimia (pH, substrat dan kandungan unsur hara) daerah yang akan direhabilitasi,
(c) lakukan persemaian dengan waktu yang dikondisikan berdasarkan jenis bibit,
(d) lakukan pemeliharaan dengan pelibatan masyarakat setempat, (e) tentukan
pola penanaman yang sesuai dengan bibit dan areal penanaman, (f) sebaiknya
mengambil bibit yang bersumber pada areal tesrebut, (g) sebaiknya menanam
mangrove pada lokasi yang paling tidak pernah ditumbuhi oleh mangrove (Kasematpedia,
2011).
Tujuan konservasi mangrove
ialah (a) melestarikan contoh-ontoh perwakilan habitat dengan tipe-tipe
ekosistemnya, (b) melindungi jenis-jenis biota yang terancam punah, (c)
mengelola daerah yang pentig bagi pembiakan jenis-jenis biota yang bernilai
ekonomi, (d) memanfaatkan daerah tersebut untuk usah rekreasi, pariwisata,
pendidikan dan penelitian, (e) sebagai bahan untuk melakukan pelatihan di
bidang pengelolaan sumber daya alam, (f) sebagai tempat pembanding bagi
kegiatan monitoring tentang akibat manusia terhadap lingkungannya (Waryono,
2008).
D.
Jenis-Jenis
Mangrove
Berdasarkan vegetasi penyusunnya,
hutan mangrove dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu hutan mangrove utama (major
mangrove), yaitu hutan mangrove yang tersusun atas satu jenis tumbuhan saja;
hutan mangrove ikutan (minor mangrove), yaitu mangrove yang terdiri atas
jenis-jenis campuran; dan tumbuhan asosiasi (associated plants), yaitu
berbagai jenis tumbuhan yang berada di sekitar hutan mangrove yang kehidupannya
sangat bergantung pada kadar garam, dan kelompok tumbuhan ini biasanya hidup di
daerah yang hanya digenangi air laut pada saat pasang maksimum saja (Tomlinson,
1986).
Menurut Noor., dkk (2006) bahwa sajauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202
tumbuhan jenis mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis
pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari 202
jenis mangrove tersebut, 43 jenis ditemukan sebagai mangrove sejati (true mangrove) sementara jenis lainnya
ditemukan disekitar mangrove atau biasa di kenal dengan mangrove ikutan (associate mangrove)
Vegetasi penyusun hutan mangrove yang
ada di Indonesia ini tergabung dalam 37 suku tumbuhan, yang terdiri atas pohon
(14 suku), perdu (4 suku), terna (5 suku), liana (3 suku), epifit (10 suku ),
dan parasit (1 suku). Untuk suku Rhizophoraceae, yang semua anggotanya terdiri
atas pohon meliputi Bruguiera cylindrica, B. exaristata, B. gymnorrhiza, B.
sexangula, Ceriops decandra, C. tagal, Kandelia candel, Rhizophora
apiculata, R. mucronata, dan R. stylosa (Kartawinata dkk., 1978. Pertumbuhan
setiap jenis tumbuhan akan menyesuaikan dengan lingkungan sekitarnya, sehingga
morfologi yang terjadi akan berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain
(Steenis, 1958 dalam Kartawinata dkk., 1978).
III. METODE PRAKTEK
A. Waktu dan Tempat
Praktek lapang mata kuliah Konservasi Sumber daya perairan ini
dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 18 Mei 2013 pukul 08.00 WITA-selesai
bertempat di Teluk Kendari Sebelah Selatan di Muara Sungai Kambu.
B.
Alat
dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada praktek lapang konservasi sumberdaya
perairan ini dapat
dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Alat dan beserta yang digunakan
beserta fungsinya
No.
|
Alat
dan Bahan
|
Satuan
|
Fungsi
|
1.
|
Alat
|
|
|
|
-
Alat Tulis Menulis
|
Buah
|
Untuk
menulis hasil pengamatan
|
|
-
Ajir/Patok
|
Buah
|
Sebagai penopang bibit
|
|
-
Gunting
|
Buah
|
Memotong tali raffia
|
|
-
Meteran roll
|
m
|
Untuk mengukur jarak
|
|
-
Kamera digital
|
-
|
Untuk dokumentasi praktek
|
|
-
Parang
|
Buah
|
Mengukur
volume air sample
|
|
-
Tali Rafia
|
-
|
Sebagai transek garis
|
2.
|
Bahan
|
|
|
|
-
Rhizopora
mucronata
|
|
Sebagai bibit yang digunakan
|
C.
Prosedur
Kerja
Prosedur kerja pada praktek lapang Konservasi Sumber
daya Hayati Perairan adalah sebagai berikut :
1. Mengumpulkan bibit mangrove jenis Rhizopora sp.
yang ada di sekitar lokasi praktek sebanyak 40 buah.
2. Membuat tansek kuadrat dengan ukuran 20 x 1 m2
dari tepi pantai atau batas pasang surut menuju arah laut
3. Menanam
bibit mangrove yang telah disediakan
dengan jarak tanam 1 m setiap bibit
4. Mengikat bibit mangrove pada ajir yang telah
disediakan menggunakan tali rafia untuk memperkuat sistem perakaran mangrove
IV. HASIL PEMBAHASAN
A.
Gambaran
Umum Lokasi
Gambar 2. Lokasi praktek
lapang kegiatan konservasi
Teluk kendari
merupakan perairan semi tertutup yang didalamnya terdapat muara sungai sehingga
menjadikan perairan ini berada dalam kondisi payau yang menyebabkan
terbentuknya ekosistem mangrove. Seiring dengan perkembangan zaman dan
perubahan tata ruang wilayah kota yang lebih mengutamakan aktivitas pembangunan
dan percepatan pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan ekosistem mangrove yang
ada di Teluk Kendari kian terdegradasi seiring waktu. Kawasan yang dulunya
merupakan “Green Belt” kini telah berubah menjadi lahan pertambakan,
pemukiman, dan kawasan industri. Kondisi
demikian seharusnya telah menjadikan wilayah ini seharusnya ditetapkan sebagai daerah konservasi ekosistem mangrove
untuk mencegah hilangnya ekosistem ini.
Secara
ekologis batasan Teluk Kendari tentu saja mengikuti pasang terjauh air laut dan
zonasi ekosistem mangrove. Namun karena
aktivitas penebangan dan reklamasi teluk yang terus terjadi menyebabkan luasan
Teluk Kendari kian menyusut. Sedangkan secara administratif batasan-batasan
Teluk Kendari yaitu :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kendari
Barat
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Poasia
- Sebelah Timur berbatasan dengan
Laut Banda
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Mandonga
B.
Penentuan
Wilayah Konservasi Ekosistem Mangrove
Kawasan konservasi merupakan
suatu daerah yang telah dicanangkan untuk kegiatan pelestarian agar suatu sumberdaya
yang di protendisksi didalamnya dapat berkesinambungan serta diharapkan dapat
bertahan terhadap kondisi lingkungan yang ada dari waktu ke waktu.
Berdasarkan cara pengumpulan data,
penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dapat dilakukan dengan tiga cara,
(Departemen Kehutanan, 2006) yaitu (1). Penilaian dengan
menggunakan teknologi GIS (Geographic
Information System) dan inderaja (citra satelit), (2). Penilaian secara
langsung di lapangan (terestris), (3). Kriteria-kriteria penentuan tingkat
kekritisan lahan mangrove berdasarkan faktor sosial ekonomi.
Dalam menentukan wilayah
konservasi ekosistem mangrove maka kita harus mengetahui kriteria dalam
penentuan wilayah konservasi seperti memperhatikan aspek ekologis, aspek
ekonomis dan aspek sosial dari kawasan yang akan dikonservas tersebut. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Bengen (2001) bahwa penetapan kawasan konservasi di
dilakukan dengan memperhatikan aspek ekologisnya yang meliputi keankeragaman
hayati, kelamaian, ketergantungan, keunikan dan integritas dari suatu kawasan
sementara aspek ekonominya meliputi spesies yang penting kepentingan perikanan,
bentuk ancaman, manfaat ekonomi (didasarkan pada tingkat dimana perlindungan
lokasi akan berpengaruh pada ekonomi lokal dalam jangkan panjang) dan
pariwisata. Sedangkan aspek sosial meliputi penerimaan masyarakat (tingkat
dukungan masyarakat lokal), kesehatan masyarakat (membantu mengurangi
pencemaran), rekreasi (rekreasi masyarakat lokal maupun interlokal), budaya
(nilai sejarah, agama, seni atau nilai budaya lain dari lokasi), estetika (nilai
keindahan lokasi), konflik kepentingan (pengaruh pada aktivitas masyarakat
lokal), keamanan (tingkat bahaya dari lokasi bagi manusia karena adanya arus
kuat, ombak, dan sebagainya), aksesibilitas (kemudahan mencapai titik lokasi),
kepedulian masyarakat (monitoring, penelitian, pendidikan atau pelatihan
didalamlokasi), konflik dan kompatibilitas (lokasi dapat membantu menyelesaikan
konflik antara kepentingan sumber daya alam dan aktivitas manusia atau tingkat
kompatibilitas antara sumber daya alam dan manusia dapat dicapai).
Pada teluk Kendari secara
garis besar pula terdapat bahwa hampir seluruh wilayahnya telah mengalami kerusakan yang begitu besar khusus mengenai ekosistem
mangrove. Hal ini disebabkan
oleh tekanan dan pertambahan penduduk yang demikian cepat yang ada di kota
kendari terutama di daerah pantai, sehingga mengakibatkan adanya perubahan tata
guna lahan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan, akibatnya hutan
mangrove dengan cepat menipis dan rusak. Dan juga disebabkan karena adanya
pembangunan-pembnagunan yang ada disekitar pantai sehingga menyebabkan
ekosistem mangrove hilang. Selain itu, meningkatnya permintaan terhadap
produksi kayu yang menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Hal ini sesuai dengan pendapat Khomsin (2005)
yang menyatakan bahwa salah satu degradasi sumberdaya
pesisir yang sangat menonjol adalah degradasi hutan mangrove sebagai akibat
pembukaan lahan atau konversi hutan menjadi kawasan pertambakan, permukiman,
industri dan lain-lain. Selain konversi, degradasi hutan mangrove juga terjadi
akibat pemanfaatan yang intensif untuk bahan bakar, bangunan dan daunnya
sebagai makanan ternak, serta penambangan pasir laut di sepanjang pantai bagian
depan kawasan mangrove memimbulkan masalah tersendiri bagi keberadaan
lingkungan pesisir terutama pada keberadaan kawasan konservasi mangrove. Akibat
dari pemanfaatan kawasan konservasi yang tidak seimbang, maka kawasan mangrove
mengalami perubahan yang cenderung memyebabkan penyusutan luasan dan kerusakan.
Hilang dan rusaknya kawasan mangrove pada beberapa wilayah pesisir di Kabupaten
Sampang, telah mengakibatkan hilangnya fungsi mangrove baik fisik, ekologis
maupun ekonomi.
C.
Jenis
Mangrove Yang Di Rehabilitasi
Jenis mangrove
yang digunakan dalam praktek lapang ini adalah Rhizophora mucronata. Jenis
ini dipilih karena jenis substrat yang dominan lumpur dan letak wilayah
penanaman yang berada di muara sungai merupakan tempat yang ideal bagi
pertumbuhan mangrove jenis R. mucronata.
Selain hal tersebut yang juga dapat dilihat secara kasat mata adalah
kebanyakan jenis indukan yang tumbuh di lokasi praktek ini adalah R.
mucronata. Sehingga sangat
cocok untuk direhabilitasi hal ini sesuai dengan pernyatan Pramudji dan
Soehardjono (2012), bahwa mangrove jenis Rhizopora
mucronata, R. apiculata, dan Avicennia marina adalah tiga jenis mangrove
yang biasa ditanam pada program rehabilitas mangrove. Di beberapa lokasi, R apiculata lebih banyak dipilih karena
memiliki jenis perakaran yang lebih rapat dan kuat. Jenis mangrove ini sering
ditanam untuk tujuan penanggulanagn kawasan pesisir dari abrasi.
Sedangkan
Tomlinson (1986) menambahkan bahwa mangrove jenis Rhizopora mucronata sering dipakai untuk bibit dalam upaya
konservasi terkhusus dalam kegiatan-kegiatan rehabilitasi karena mangrove jenis
ini memiliki tingkat kelangsungan hidup (survival
rate) yang lebih baik dibandingkan mangrove jenis lain jika kondisi
lingkungannya sesuai. Ciri-ciri dari R. mucronata
yaitu a). perawakan: pohon tinggi dapat mencapai 20 m, kulit batang kasar,
berwarna abu-abu kehitaman, b). Daun: bentuk elip sampai bulat panjang, ukuran
10 – 16 cm, ujung meruncing dengan duri (mucronatus), permukaan bawah tulang
daun berwarna kehijauan, berbintik-bintik hitam tidak merata, c). Keterangan
bunga: terususn atas 4 -8 bunga tunggal, kelopak 4, dengan warna kuning gading,
mahkota 4, berambut pada bagian pinggir dan belakang, benag sari 8, tangkai
putik panjang 1 -2 mm dengan ujung berbelah dua, d). Buah: bentuk mirip jambu
air, ukuran 2 – 2,3 cm, warna hijau kekuningan, hipokotil silindris berdiameter
2 – 2,4 cm, panjang dapat mencapai 90 cm, dengan permukaan berbintik – bintik,
warna hijau kekuningan, e). akar: merupakan akar tunjang, f). habitat: tanah
berlumpur dalam dam sedikit berpasir.
Dalam
menentukan kesesuaian lahan untuk jenis mangrove R. mucronata perlu pengkajian lebih mendalam tentang tipe substrat
serta kualitas air di daerah Teluk Kendari sehingga kita dapat mendeskripsikan
keseuaian lahan tersebut. Disamping itu dampak kegiatan manusia juga sangat
berpengaruh terhadap penentuan kesesuaian lahan. Oleh karena itu perlu dilakukannya
pendataan tentang dampak kegiatan manusia terhadap keberadaan jenis mangrove R. mucronata di Teluk Kendari dengan
memberikan pembobotan. Namun secara
umum Teluk Kendari masih dapat dikatakan bahwa kesesuaian lahan untuk R. mucronata
sesuai bahkan sangat sesuai. Karena substratnya berlumpur atau pasir
berlumpur dimana substrat tersebut sangat menyukai R. mucronata untuk tumbuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Khomsin
(2005) yang menyatakan bahwa dalam pelaksanaan survey telah diperoleh data-data
mengenai jenis, jumlah tegakan dan diameter pohon untuk menentukan struktur
komunitas vegetasi mangrove yang berkaitan dengan kerapatan jenis, frekuensi
jenis, dan luas area penutupan. Sehingga diperoleh nilai penting suatu jenis
vegetasi tertentu yang merupakan indikator kesesuaian lahan tersebut. Dalam
penentuan suatu jenis vegetasi tersebut sesuai atau tidaknya disuatu
areal/lahan tersebut, ditetapkan nilai penting suatu jenis mangrove R.
mucronata berkisar antara 0 – 300 ( 0
– 100 = tidak sesuai; 101 – 200 = sesuai dengan catatan; 201 – 300 = sangat
sesuai). Disamping itu dampak kegiatan manusia juga sangat berpengaruh terhadap
penentuan kesesuaian lahan. Untuk itu telah dilakukan pendataan tentang dampak
kegiatan manusia terhadap keberadaan hutan mangrove dengan memberikan
pembobotan dari 0 sampai dengan 4 sesuai dengan besarnya dampak ( 0 = tidak ada
dampak; 1 = dampak ringan; 2 = dampak sedang; 3 = dampak berat; dan 4 = dampak
sangat berat).
Kegiatan
dalam merehabilitasi mangrove di Teluk Kendari yakni dimulai pada tahap pengambilan bibit yang direhabilitasi
tersebut langsung diperoleh di alam, dimana terdapat 2 metode yang digunakan
yaitu diperoleh dengan cara mengambil secara langsung bibit yang telah mencapai
ukuran tanam yang ada di sekitar induknya dan metode kedua yaitu bibit yang
sudah disemaikan ke dalam polybag dan bibit tersebut ditunggu hingga sampai
mencapai waktu tanamnya. Metode pertama apabila dipergunakan perlu
kehati-hatian dalam pengambilannya sebab jangan sampai bibit yang dicabut
membuat sistem perakarannya menjadi rusak atau cacat karena dapat menmpengaruhi
pertumbuhannya. Selain itu, pengambilan dengan model pertama memiliki resiko
kematian tinggi bagi mangrove yang digunakan dibandingkan dengan jalan
persemaian di polybag. Hal ini sesuai dengan pendapat Khazali (1999) bahwa
penanaman melalui buah yang dihabitatkan akan menghasilkan persentase tubuh
yang tinggi dibandingkan mengambil secara langsung dialam.
Selanjutnya
dalam penanaman bibit mangrove di perairan Teluk Kendari digunakan transek 1 m
x 20 m kearah laut dimana sistem pada setiap penanaman bibit di beri jarak 1
meter pada setiap titik penanaman. Hal ini dilakukan agar ketika dewasa
kerapatan mangrove tidak saling berdekatan serta pertumbuhannya dapat optimal
pada saat masih fase pertumbuhan. Ajir (patok) memiliki peranan penting sebagai
media tempat mengikat bibit mangrove ketika ditanam. Ajir akan membantu bibit
mangrove agar tidak terbawa oleh arus gelombang serta menopang manrove tersebut
agar tetap tegak sehingga diharapkan mangrove dapat tumbuh hingga mencapai
pertumbuhan yang optimal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Khazali (1999) bahwa
pada substrat yang berlumpur dalam, sebaiknya digunakan propagul dari Rhizopora spp. yang telah cukup umur
(minimal 4 daun). Bibit mangrove yang ditanam diikatkan pada tiag pancang atau
dimasukkan ke dalam media tanah (maksimal 1 x 1 m). Semakin sempit jarak tanam
maka akan semakin tingkat kerapatan distribusinya sehingga akan berpengaruh
pada peranan ekologisnya yakni sebagai pemecah gelombang.
V. PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil praktek lapang konservas
sumberdaya perairan ini maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1.
Dalam menentukan wilayah konservasi
ekosistem mangrove maka kita harus mengetahui kriteria dalam penentuan wilayah
konservasi seperti memperhatikan aspek ekologis, aspek ekonomis dan aspek
sosial dari kawasan yang akan dikonservasi tersebut. sedangkan Menurut
Keputusan Menteri No. 201 Tahun 2004 tentang kriteria baku mutu dan pedoman
tentang kerusakan mangrove yang menyatakan bahwa kriteria yang ada bahwa
kerapatan >1500 ind/ha (>60 pohon) maka tergolong baik (sangat lebat),
kerapatan ≥1000 - <1500 ind/ha (≥40 - <60 pohon) maka tergolong baik,
kategori sedang sedangkan jika <1000 maka tergolong telah mengalami
kerusakan yang parah.
2.
Cara merehabilitasi Mangrove ialah: (a)
kenali daerah yang akan direhabilitasi, (b) kenali faktor fisik, biologi dan
kimia, (c) lakukan persemaian dengan waktu yang dikondisikan berdasarkan jenis
bibit, (d) lakukan pemeliharaan dengan pelibatan masyarakat setempat, (e)
tentukan pola penanaman yang sesuai dengan bibit dan areal penanaman, (f)
sebaiknya mengambil bibit yang bersumber pada areal tesrebut, (g) sebaiknya
menanam mangrove pada lokasi yang paling tidak pernah ditumbuhi oleh mangrove.
Sedangkan jenis mangrove yang digunakan dalam praktek lapang ini adalah Rhizophora
mucronata. Jenis ini dipilih karena jenis substrat yang dominan lumpur dan letak
wilayah penanaman yang berada di muara sungai merupakan tempat yang ideal bagi
pertumbuhan mangrove jenis R. mucronata sedangkan jarak tanam
antara mangrove satu dengan yang lain ialah
1 m x 20 m kearah laut.
B.
Saran
Saran
yang dapat kami sampaikan adalah agar masyarakat yang berada di sekitar Teluk
Kendari dapat menjaga kelestarian dan kealamian wilayah tersebut, agar potensi
alam dapat selalu terjaga dan saya juga berharap agar pemerintah setempat dapat
mengambil sikap dalam melindungi potensi tersebut baik dengan menjadikan
kawasan konservasi ataupun dengan melakukan tindakan lain yang dapat memberi
nilai positif pada pembangunan Teluk Kendari.
makasih sangat membantu
BalasHapus