Jumat, 22 November 2013

ENSO (El nino southern osilication)


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, telah terjadi perubahan iklim yang sangat terasa di bumi. Hal ini sangat berpengaruh pada alam dan aktivitas manusia. Salah satunya adalah terdapat anomali suhu yang mencolok, yang mengakibatkan banyak terjadinya fenomena alam seperti fenomena ENSO (El nino southern osilication).
El Nino didefinisikan sebagai fenomena di wilayah Samudera Pasifik ekuatorial yang ditandai dengan adanya perbedaan positif antara SST yang teramati di wilayah Nino 3,4 (120W-170W, 5N-5S) dibandingkan periode normal (rata-rata SST dari tahun 1971-2000). El Nino diakibatkan oleh pindahnya kolam hangat (warm pool) dari utara Irian ke Pasifik tengah akibat suhu di lapisan thermocline sudah melewati nilai kritis akibat tingginya perbedaan di daerah warm pool dengan di Pasifik tengah, hukum mekanika fluida akan menyebabkan aliran perpindahan warm pool menuju ke Pasifik tengah dengan pusat di kedalaman thermocline. Sedangkan La Nina merupakan kondisi kebalikan dari El Nino atau fase dingin dari ENSO (El Nino Southern Oscillation) (NOAA News Online, Feb. 23, 2005 dalam Nasrullah, 2011).
Pemahaman tentang dinamika El Nino bermula dari kesadaran bahwa fenomena tersebut terkait dengan instabilitas terkopel antara lautan Pasifik tropis dengan sistem atmosfir. Counterpart atmosfirnya, atau yang dikenal dengan Southern Oscillation ditandai dengan perbedaan tekanan permukaan laut antara lautan Pasifik bagian Barat dengan lautan Pasifik bagian Timur. Siklus El Nino – Southern Oscillation terdiri atas dua elemen. Pertama adalah sistem umpan balik positif antara angin zonal sebagai akibat dari adanya gradient tekanan permukaan, dan gradient temperature muka laut di katulistiwa yang juga dikontrol oleh angin yang mengakibatkan upwelling dan fluktuasi dari termoklin. Kedua adalah dinamika laut di katulistiwa, khususnya gelombang equatorial Kelvin dan Rossby non-dispersif, yang memberikan elemen out of phase, sehingga sistem berosilasi antara fase panas (El Nino) dan fase dinginnya (La Nina) 2,5. Sistem terkopel ini menjadi esensi dari banyak model deskripsi ENSO.
Fenomena El-Nino menyebabkan penurunan jumlah curah hujan musim hujan, musim kemarau, awal musim kemarau lebih cepat dan awal musim hujan lebih lambat (Irianto, 2003). Curah hujan untuk wilayah Pulau Jawa dan Nusa Tenggara mengalami penurunan jumlah hujan yang mencapai 60% dari rata-rata curah hujan normal pada saat kejadian El Nino (Irianto dkk., 2000). Berbeda dengan El-Nino, pada saat fenomena La-Nina jumlah curah hujan tahunan meningkat sekitar 50 mm dari curah hujan rata-rata normal, dimana saat bulan Desember, Januari dan Februari curah hujan meningkat sangat nyata (Effendy, 2001). Selain itu curah hujan di Pulau Jawa meningkat sampai 140%, sedangkan di Pulau Sumatra dan Kalimantan peningkatannya mencapai 120% pada saat fenomena La Nina (Irianto dkk., 2000). Kejadian La Nina juga mengakibatkan curah hujan di indonesia meningkat pada saat musim kemarau serta menyebabkan majunya awal musim hujan (Bell et al., 1999; Bell et al., 2000). Karena cenderung meningkatkan curah hujan pada musim kemarau serta majunya awal musim hujan tersebut menjadikan efek La Nina bisa bersifat positif seperti naiknya rata-rata produksi pangan dari total ratarata produksi (Irawan, 2006). Kejadian La Nina pada tahun 1998/1999 merupakan salah satu kejadian La Nina yang kuat dibandingkan kejadian La Nina sebelum-sebelumnya (Bell et al., 1999) yang berpengaruh terhadap besaran hujan di Indonesia. Akan tetapi bentuk pola spasial efek kejadian ENSO tersebut terhadap besaran curah hujan belum diketahui secara pasti.
Fenomena ENSO ini merupakan gejala alam yang tak bisa dihilangkan tetapi hanya bisa dihindari. Banyak sekali dampak dan pengaruh Fenomena ENSO di dalam aktivitas dan kehidupan manusia juga di alam. Untuk itu perlu Fenomena ENSO untuk dikaji.
B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
*        Apakah Pengertian ENSO (El Nino Southern Oscillation)?
*        Bagaimanakah Fenomena  ENSO (El Nino Southern Oscillation)?
*        Bagaimana proses terjadinya ENSO (El Nino Southern Oscillation) ?
*        Apakah yang menjadi Pemicu fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation)?
*        Bagaimanakah dampak dari peristiwa ENSO di Perairan Dunia dan Indonesia?
C.    Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
*        Untuk mengetahui Pengertian ENSO (El Nino Southern Oscillation)
*        Untuk mengetahui Fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation)
*        Untuk mengetahui proses terjadinya ENSO (El Nino Southern Oscillation)
*        Untuk mengetahui dampak dari peristiwa ENSO di Perairan Dunia dan Indonesia
Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
*   Mahasiswa dapat mengetahui faktor penyebab fenomena ENSO
*   Mahasiswa dapat mengetahui proses terjadinya fenomena ENSO
*   Mahasiswa dapat mengetahui dampak dari terjadinya fenomena ENSO.

BAB II  
PEMBAHASAN

A.    Pengertian

Sebelum membahas lebih jauh mengenai fenomena ENSO kita tentunya harus mengetahui terlebih dahulu pengertian dari fenomena ENSO. Fenomena ENSO (El nino southern osilication) adalah gejala penyimpangan (anomali) pada suhu permukaan Samudera Pasifik di pantai Barat Ekuador dan Peru yang lebih tinggi daripada rata-rata normalnya.  
Istilah ini pada mulanya digunakan untuk menamakan arus laut hangat yang kadang-kadang mengalir dari Utara ke Selatan antara pelabuhan Paita dan Pacasmayo di daerah Peru yang terjadi pada bulan Desember. Kejadian ini kemudian semakin sering muncul yaitu setiap tiga hingga tujuh tahun serta dapat memengaruhi iklim dunia selama lebih dari satu tahun.
          Gilbart Walker yang mengemukaan tentang El Nino dan sekarang dikenal dengan Sirkulasi Walker yaitu sirkulasi angin Timur-Barat di atas Perairan Pasifik Tropis. Sirkulasi ini timbul karena perbedaan temperatur di atas perairan yang luas pada daerah tersebut.
a.         Perairan sepanjang pantai China dan Jepang, atau Carolina Utara dan Virginia, lebih hangat dibandingkan dengan perairan sepanjang pantai Portugal dan California. Sedangkan perairan di sekitar wilayah Indonesia lebih hangat daripada perairan di sekitar Peru, Chile dan Ekuador.
b.        Perbedaan temperatur lautan di arah Timur – Barat ini menyebabkan perbedaan tekanan udara permukaan di antara tempat – tempat tersebut.
c.          Udara bergerak naik di wilayah lautan yang lebih hangat dan bergerak turun di di wilayah lautan yang lebih dingin. Dan itu menyebabkan aliran udara di lapisan permukaan bergerak dari Timur ke Barat. Inilah yang kemudian disebut dengan angin Pasat Timuran.
Gambar 1. Sirkulasi Timur Barat (Sirkulasi Walker)
B. Fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation)
            Fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) adalah peristiwa anomaly pemanasan laut pasifik katulistiwa bagian timur, yang kemunculannya setiap beberapa tahun sekali dan dinamakan sebagai El Nino oleh nelayan-nelayan dari Peru. Fenomena ini berkaitan dengan dua proses yaitu El Nino dan Southern Oscillation. Pengatur ENSO :       
v  Melemahnya angin pasat (atmosfer)
v  Perpindahan kolam panas  (laut)
          Pengatur ENSO sendiri masih belum dapat dijelaskan dengan baik, ada sumber yang mengatakan munculnya disebabkan mula-mula dari atmosfer yaitu oleh melemahnya angin pasat. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa munculnya diawali dari laut yaitu adanya perpindahan kolam panas. Namun hal ini seperti sebuah siklus yang tidak dapat ditemukan mana yang merupakan awal mula penyebabnya.
          Pada kondisi normal di Equator,  laut Pasifik Barat lebih panas di bandingkan dengan  Pasifik Timur. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh :
v  Rotasi Bumi
v  Daerah Tropis, equator
v  Mixing layer
          Letak daerah di ekuator yaitu dimana pertemuan antara angin pasat dan karena bumi ini berotasi sehingga angin pasat merupakan angin Timuran. Angin pasat ini memiliki komponen dari timur ke barat sehingga ada gaya yanng membawa materi seolah-olah akan bergerak ke Barat (arus Timur). Hal ini berkaitan dengan Sirkulasi Walker yaitu sirkulasi atmosfer yang berada di permukaan bumi sepanjang ekuator menuju ke Barat dan atmosfer bagian atasnya menjadi lawannya akibat dari penyeimbang dan geser angin. Sirkulasi ini secara tidak langsung juga disebabkan oleh adanya rotasi bumi yang bergerak memutar dari Barat ke Timur. Akibat dari rotasi ini akan menimbulkan penumpukan materi (massa air laut) di Barat, sehingga lapisan pencampuran/ mixing layer lebih tebal di bagian Barat. Termoklin di sepanjang ekuator Pasifik juga lebih dangkal di Pasifik Timur di banding dengan Pasifik Barat pada keadaan normalnya.
Gambar 2. Anomali Temperature
Adanya evolusi temperatur permukaan air laut di sepanjang ekuator di laut Pasifik selama El Nino/La Nina. Fluktuansi kondisi air laut yaitu berkaitan dengan menghangat dan mendinginnya temperatur air laut. Menghangatnya air laut di bagian Timur-Tengah Pasifik Equatorial dari pada kondisi normalnya yaitu dapat disebut sebagai kondisi El Nino. Sedangkan pada kondisi La Nina disebut sebagai kondisi mendinginnya air di bagian Timur-Tengah Pasifik Ekuatorial dari pada kondisi normalnya. Mendingin dan menghangatnya air laut ini berkaitan dengan perpindahan kolam panas (warm pool).
Fenomena Enso ini sering dilihat dari kondisi parameter cuaca yaitu adanya perubahan kondisi cuaca di daerah tropis terkait degan curah hujan tropis, tekanan (Osilasi Selatan) dan angin. Fenomena Enso ini sering dilihat dari kondisi parameter cuaca yaitu adanya perubahan kondisi cuaca di daerah tropis terkait degan curah hujan tropis, tekanan (Osilasi Selatan) dan angin. Ketiga unsur cuaca ini dapat digunakan untuk parameter kondisi ENSO.

C. Proses Terjadinya ENSO
          Proses terjadinya ENSO (El nino southern osilication) adalah dijelaskan sebagai berikut ini:
          Interaksi laut dan atmosfir membentuk proses kopel di permukaan laut, yang ditandai dengan terjadinya perpindahan energi dan masa. Perpindahan energi dan masa dalam proses neraca energi terjadi dalam bentuk energi radiasi yang menghasilkan energi panas dan momentum berupa friksi di permukaan. Perpindahan energi dalam proses neraca masa terjadi dalam bentuk penguapan dan hujan, perpindahan mineral dan gas.
            Gas-gas yang ada di permukaan mengabsorbsi energi radiasi pada panjang gelombang tertentu, akibatnya terjadi peningkatan temperatur atmosfir dan temperatur air laut. Dalam hal interaksi laut atmosfir, hubungan antara lautan dan atmosfir terjadi dimana laut bertindak sebagai pensuplai uap air terbesar bagi atmosfir. Penguapan terjadi akibat tidak jenuhnya atmosfir oleh uap air serta akibat hangatnya temperatur muka laut. Sebaliknya atmosfir mensuplai energi dan masa dalam bentuk curah hujan dan endapan yang juga melibatkan transfer energi. Ketika permukaan laut mendingin, maka mekanisme di laut akan meresponnya dengan menghasilkan gerak konveksi vertikal yang akan mensuplai panas ke permukaan. Air hangat akan menyembul ke permukaan sedangkan air dingin mengendap ke kedalaman. Proses perubahan temperatur di lautan terjadi jauh lebih lambat daripada di atmosfir, akibatnya lautan cenderung bertahan hangat meskipun titik nadir matahari telah menjauhi garis khatulistiwa. Sewaktu angin bertiup di muka laut, energi di transformasikan dari angin ke permukaan laut. Sebagian dari energi tersebut menjadi gelombang gravitasi permukaan yang mengikuti pergerakan arus permukaan akibat pergerakan angin. Hal yang terakhir ini yang menyebabkan terjadinya arus laut.
el-nino1

          Proses transfer energi yang terjadi di permukaan laut pada dasarnya cukup kompleks, karena terkait dengan besaran energi yang terpakai untuk proses terjadinya turbulensi dan besaran energi yang dikonversi menjadi arus. Namun secara umum berlaku bahwa semakin kuat angin bertiup, semakin besar friksi permukaan yang mendorong arus di bawahnya. Pekerjaan angin yang mendorong arus laut ini disebut dengan wind stress.Peristiwa dorongan angin terhadap arus laut lebih banyak terjadi pada skala kecil melalui proses turbulensi. Peningkatan kecepatan arus laut dan sebaliknya lebih banyak disebabkan oleh proses turbulensi permukaan. Turbulensi akan mendistribusikan dan menghilangkan energi gerak dan merubahnya menjadi energi panas melalui viskositas molekular. Hal terakhir inilah yang memberikan kontribusi terhadap suhu muka laut. Selebihnya arus laut diatur oleh kondisi salinitas densitas, suhu dan topograpi dasar laut.
          Suhu muka laut merupakan salah satu parameter yang merepresentasikan iklim Indonesia. Panasnya suhu muka laut meningkatkan potensi evaporasi, yang berkorelasi dengan curah hujan, dan sebaliknya dinginnya suhu muka laut mengurangi potensi turunnya hujan. Indonesia menerima dampak arus yang mengalir dari lautan Pasifik, dampak El Nino menyebabkan dinginnya lautan Indonesia. Apabila proses dinginnya Pasifik dapat dideteksi lebih awal sebelum mempengaruhi lautan Indonesia, bisa digunakan sebagai prediktor dan sebuah model prediksi       .
D. Pemicu ENSO
          Teori yang dikemukakan untuk menjelaskan pemicu El Niño dan La Niña adalah melemahnya angin passat di daerah Pasifik yang berkaitan dengan osilasi selatan. Melemahnya angin passat menyebabkan kolam hangat yang terkumpul di bagian tengah Samudera Pasifik bergerak ke arah timur Samudera Pasifik. Pemicu lainnya adalah aktifitas konveksi tropis di lautan Hndia dan terjadinya badai yang kuat. Aktifitas ini harus berlangsung minimal selama satu bulan. Oleh karena badai tropis ini bersifat geostropik, maka angin yang ditimbulkan di sekitar ekuator selalu bertiup ke arah timur. Jika badai ini cukup kuat atau berlangsung cukup lama, maka angin baratan ini cukup kuat untuk memicu El Niño.
          Pada waktu terjadi La Niña, angin passat kuat dan pusat konvergensi sirkulasi Walker bergeser ke arah barat di daerah Indonesia dan sekitarnya. Akibatnya di daerah Indonesia, Australia, Papua Nugini, Selandia Baru, Brasil, Cina, India, Afrika Selatan dan Afrika Timur, hujan meningkat melebihi kondisi normalnya. Sedangkan di Pasifik Tengah dan Timur, Amerika Utara dan Amerika Selatan bagian subtropis dan sekitar pantai Peru, badai dan hujan berkurang, kondisi El Nino merupakan kebalikan dari kondisi La Nina.
          Curah hujan di Idonesia hampir seluruhnya dipengaruhi oleh EL Nino Southern Oscillation (ENSO), kecuali di sebagian besar Sumatera. Pengaruh ENSO yang paling kuat terjadi pada bulan September s/d November 2002, yang di banyak daerah merupakan musim transisi dari musim kemarau ke musim hujan. Sebagai akibatnya, maka akan dirasakan sebagai musim kemarau yang panjang. Daerah yang terpengaruh oleh ENSO adalah SUMSEL, seluruh P. Jawa, KALBAR, KALTENG, KALSEL, KALTIM, Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya. Sementara daerah yang tidak terpengaruh oleh ENSO adalah Nanggroe Aceh Darussalam, SUMUT, SUMBAR, RIAU, Jambi, dan Bengkulu.
Gambar  4. Sketsa interaksi laut-atmosfer pada kondisi Normal
Gambar 5. Sketsa interaksi laut-atmosfer pada kondisi El Niño
Gambar 6. Sketsa interaksi laut-atmosfer pada kondisi La-Nina

D. Dampak Fenomena ENSO
          Contoh dampak El nino yang terjadi di perairan adalah dimulai melemah, dan air laut yang panas di pantai Peru – ekuador kembali bergerak ke arah barat, air laut di tempat itu suhunya kembali seperti semula dingin) dan upwelling muncul kembali, atau kondisi cuaca menjadi normal kembali.   
Posisi geografis Indonesia sangat mempengaruhi kejadian iklim ekstrim, dalam hal ini adalah banjir dan kekeringan. Fenomena yang sangat mempengaruhi iklim di Indonesia adalah ENSO, karena Indonesia terletak di antara dua samudera, yaitu Pasifik dan Hindia. Kejadian El Nino akan menyebabkan kekeringan di wilayah Indonesia terutama di wilayah yang mempunyai pola curah
hujan monsoonal. Sedangkan fenomena La Nina akan menyebabkan curah hujan di Indonesia meningkat pada saat musim kemarau serta menyebabkan majunya awal musim hujan (Bell et al., 1999). Pada tahun 2010 yang lalu, terjadi suatu fenomena kemarau basah sehingga sepanjang tahun terjadi musim hujan. Hal ini merupakan salah satu contoh iklim ekstrim yang terjadi di Indonesia sebagai akibat dari terjadinya perubahan iklim.
Naiknya tekanan udara di pasifik tengah dan timur saat El Nino, menyebabkan pembentukan awan yang intensif. Hal ini yang menjadikan curah hujan yang tinggi di kawasan pasifik tengah dan timur. Sedangkan sebaliknya, di daerah pasifik barat terjadi kekeringan yang jauh dari normal. Turunnya tekanan udara di pasifik tengah dan timur saat La Nina, menjadi hambatan terbentuknya awan di daerah ini, sehingga mengalami kekeringan. Sedangkan sebaliknya, di daerah pasifik barat curah hujan sangat tinggi. Hal ini menimbulkan banjir yang parah di Indonesia. Meningkatnya suhu permukaan laut yang biasanya dingin di perairan, mengakibatkan perairan yang tadinya subur akan ikan menjadi sebaliknya. Hal ini menyebabkan nelayan kesulitan mendapatkan ikan di perairan.
El Niño merupakan fenomena global yang sangat mempengaruhi hidrometeorologi di daerah Asia Tenggara dan Australia dengan variabilitas curah hujan yang dipengaruhi oleh intensitas El Niño. Kekeringan dan kebanjiran merupakan konsekuensi dari tingginya variabilitas El Niño. Tahun  kering di Indonesia akibat terjadinya El Niño dan tahun basah merupakan pengaruh terjadinya La Niña yang intensif (Brumbelow and Georgakakas, 2005; Lim, 1998). Terjadinya El Niño dan La Niña menyebabkan terjadi perubahan pola curah hujan di Indonesia yang berdampak pada perubahan periode masa tanam (growing season), pola tanam, dan awal tanam Jumlah curah hujan dalam periode transisi antara bulan-bulan kering dan musim hujan sangat penting dalam pertanian.
E. Monitoring ENSO
Dalam memonitoring Fenomena ENSO ini diukur dengan beberapa indeks, yaitu :
a)      Tahiti-Darwin SOI (Southern Oscillation Index)
Southern Oscilation Index adalah indeks ENSO dengan melihat perubahan anomali SLP (Sea Level Pressure). SOI ada 2 yaitu Tradisional SOI yag merupakan perbedaan anomali SLP dari keadaan normalnya di antara SLP di Tahiti dan di Darwin. Sedangkan yang kedua adalah Equatorial SOI yaitu perbedaan anomali SLP di antara Pasifik Timur (5˚N-5˚S, 130˚-80˚W) dan Pasifik Barat (5˚N-5˚S, 90˚-140˚E). Keduanya merupakan indeks SOI yang digunakan untuk memonitoring ENSO.
http://weather.meteo.itb.ac.id/content/artikel/artikel6_files/image012.jpg
Gambar diatas memperlihatkan standar deviasi SOI rata-rata 3 bulanan dari tahin 1975-2000. SOI positif yaitu ketika standar deviasinya diatas 0, dan SOI negatif ketika standar deviasinya di bawah 0.
Ketika SOI pisitif (+) merupakan indikasi terjadinya La Nina. Tandanya adalah SLP di daerah sekitar Darwin berada lebih rendah dari pada normalnya, sedangkan di Tahiti SLPnya lebih tinggi dibanding normalnya. Gerakan Timuran akan menguat dan membuat kolam panas mengumpul di Darwin. Kondisi inilah yang disebut sebagai La Nina.
http://weather.meteo.itb.ac.id/content/artikel/artikel6_files/image013.jpg
Sedangkan jika indeks SOI negatif (-) merupakan indikasi terjadi El Nino, yang dimana kondisi SLP di Darwin lebih besar dibandingkan normalnya, sedangkan SLP di daerah Tahiti lebih rendah di banding normalnya. Sementara kondisi SLP di Tahiti jauh lebih besar dibanding SLP di daerah IDT. Gerakan timuran yang melemah akan mendukung kolam panas mengumpul di IDT. Kondisi inilah uang disebut dnegan El Nino.
http://weather.meteo.itb.ac.id/content/artikel/artikel6_files/image014.jpg
b)      Equatorial SOI
c)       Indeks Angin level rendah
d)      Indeks Angin level atas
e)      OLR , batasan untuk presipitasi daerah tropis
f)       Oceanic Nino Index (ONI)
ONI adalah indeks baru yang merupakan salah satu indeks El Nino. ONI ini dihitung berdasarkan prinsip perhitungan untuk monitoring, assessment dan prediksi siklus ENSO. ONI ini melihat juga perubahan nilai SST dari rata-rata daerah Nino 3.4. Diambil rata-rata pertiga bulan dijalankan dan dilihat nilai perubahan SST dama dengan analisis SST historis. Oni digunakan untuk melihat kondisi arus di suatu tempat dalam prespektive historis. Oni telah dioperasikan oleh NOAA.
 
 
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.      Kesimpulan

          Berdasarkan latar belakang dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.    Fenomena ENSO (El nino southern osilication) adalah gejala penyimpangan (anomali) pada suhu permukaan Samudera Pasifik di pantai Barat Ekuador dan Peru yang lebih tinggi daripada rata-rata normalnya.
2.    Fenomena Enso ini sering dilihat dari kondisi parameter cuaca yaitu adanya perubahan kondisi cuaca di daerah tropis terkait degan curah hujan tropis, tekanan (Osilasi Selatan) dan angin. Fenomena Enso ini sering dilihat dari kondisi parameter cuaca yaitu adanya perubahan kondisi cuaca di daerah tropis terkait degan curah hujan tropis, tekanan (Osilasi Selatan) dan angin. Ketiga unsur cuaca ini dapat digunakan untuk parameter kondisi ENSO.
3.    Teori yang dikemukakan untuk menjelaskan pemicu El Niño dan La Niña adalah melemahnya angin passat di daerah Pasifik yang berkaitan dengan osilasi selatan.
4.    Dampak dari fenomena El nino yaitu Naiknya tekanan udara di pasifik tengah dan timur saat El Nino, menyebabkan pembentukan awan yang intensif. Hal ini yang menjadikan curah hujan yang tinggi di kawasan pasifik tengah dan timur. Sedangkan sebaliknya, di daerah pasifik barat terjadi kekeringan yang jauh dari normal.
5.    Dalam memonitoring Fenomena ENSO ini diukur dengan beberapa indeks, yaitu : Tahiti-Darwin SOI (Southern Oscillation Index), b)      Equatorial SOI, Indeks Angin level rendah, Indeks Angin level atas, OLR , batasan untuk presipitasi daerah tropis. dan Oceanic Nino Index (ONI).

B.       Saran

Dalam pembahasan di makalah ini, masih banyak kekurangan sehingga diharapkan pembaca mampu mencari refrensi yang lebih lengkap lagi. Mengingat perkembangan teknologi yang kian pesat tiap tahunnya, bukan tidak mungkin kemudian makalah ini menjadi tidak relevan lagi karena perubahan teknologi yang semakin maju.



DAFTAR PUSTAKA
Bayong Tjasyono HK. and A. M. Mustofa, 2000.  Seasonal Rainfall Variation  over Monsoona l Areas.  JTM, Vol. VIII, No. 4 , ITB, Bandung.
Bayong Tjasyono HK. and Zadrach L. D., 1996.  The Impact of El Niño on Season in Indonesian Monsoon Region.  Proc. of the International  Workshop on the Climate System of Monsoon Asia, Kyoto, Japan.
Bayong Tjasyono HK., 2006. Impact of El Niño on Rice Planting in The Indonesian Monsoonal Areas. The International Workshop on Agrometeorology, BMG, Jakarta.
Bayong Tjasyono HK., 2007. Variasi Iklim Musiman dan Non Musiman di  Indonesia. Lokakarya Meteorologi, Geofisika,dan Klimatologi untuk  Media dan Pengguna Jasa, BMG, Hotel NAM Center, Jakarta.
Brumbelow, K. and A. Georgakakas, 2005. Consideration of Climate Variability
and Change in Agricultural Water Resources Planning. J. Water Resources Planning and Management, W.R/2005/022915.
Eva Gusmira, 2005. Pengaruh Dipole Mode terhadap Angin Zonal dan Curah Hujan di Sumatera Barat. Tesis bidang khusus Sains Atmosfer, ITB, Bandung.
Lim, J. T., 1998. ENSO and its relationship to haze and forest fire in Southeast Asia. Malaysian Meteorological Service, Petaling Jaya, Selangor.
Ramage, C. S., 1971. Monsoon Meteorology, Academic Press, New York.
Rasmesson, E. N. and T. H. Carpenter, 1983. The Relationship between The Eastern Pacific Sea Surface Temperature and Rainfall over India and Sri Langka. Mon. Wea. Rev., Vol. III.
Saji, N. H.; B. N. Goswani; P. N. Vinayachandran;and T. Yamagata, 1999. A  Dipole Mode in the Tropical Indian Ocean . Nature Vol. 401, 360 –363.
Schmidt, F. H. and J. V. der Vecht, 1952. East Monsoon Fluctuation in Java  and Madura During The Period 1880 –1940. VerhandelingenNo. 43,Jakarta. Trenberth, K. E., 1996 a. El Niño –Southern Oscillation. Workshop on ENSO  and Monsoon, ICTP, Trieste, Italy.
Trenberth, K. E., 1996 b. El Niño Definition, Workshop on ENSO and Monsoon. ICTP, Trieste, Italy.
Yamagata, T.; Lizuka, S. and Matsura, T., 2000. Successful Reproduction of the Dipole Mode Phenomenon in the Indian Ocean Using a Model –Advance toward the Prediction of Climate Change. Geophysical Research  Letter.
Yamagata,  T.; Swadhin K. Behera; S. A. Rao; Zhooyong Guan; Karamuri A. ; and H. N. Saji, 2002.  The Indian Dipole .  A Physical Entity Exchanges No. 24, Southampton UK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar