BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir, telah terjadi perubahan iklim yang sangat terasa di bumi. Hal ini
sangat berpengaruh pada alam dan aktivitas manusia. Salah satunya adalah
terdapat anomali suhu yang mencolok, yang mengakibatkan banyak terjadinya
fenomena alam seperti fenomena ENSO (El
nino southern osilication).
El Nino didefinisikan sebagai
fenomena di wilayah Samudera Pasifik ekuatorial yang ditandai dengan adanya
perbedaan positif antara SST yang teramati di wilayah Nino 3,4 (120W-170W,
5N-5S) dibandingkan periode normal (rata-rata SST dari tahun 1971-2000). El Nino
diakibatkan oleh pindahnya kolam hangat (warm pool) dari utara Irian ke Pasifik
tengah akibat suhu di lapisan thermocline sudah melewati nilai kritis akibat
tingginya perbedaan di daerah warm pool dengan di Pasifik tengah, hukum
mekanika fluida akan menyebabkan aliran perpindahan warm pool menuju ke Pasifik
tengah dengan pusat di kedalaman thermocline. Sedangkan La Nina merupakan
kondisi kebalikan dari El Nino atau fase dingin dari ENSO (El Nino Southern Oscillation) (NOAA News Online, Feb. 23, 2005 dalam Nasrullah, 2011).
Pemahaman tentang dinamika El Nino
bermula dari kesadaran bahwa fenomena tersebut terkait dengan instabilitas
terkopel antara lautan Pasifik tropis dengan sistem atmosfir. Counterpart atmosfirnya,
atau yang dikenal dengan Southern Oscillation ditandai dengan perbedaan
tekanan permukaan laut antara lautan Pasifik bagian Barat dengan lautan Pasifik
bagian Timur. Siklus El Nino – Southern Oscillation terdiri atas dua elemen.
Pertama adalah sistem umpan balik positif antara angin zonal sebagai akibat
dari adanya gradient tekanan permukaan, dan gradient temperature muka laut di
katulistiwa yang juga dikontrol oleh angin yang mengakibatkan upwelling dan
fluktuasi dari termoklin. Kedua adalah dinamika laut di katulistiwa, khususnya
gelombang equatorial Kelvin dan Rossby non-dispersif, yang memberikan
elemen out of phase, sehingga sistem berosilasi antara fase panas (El
Nino) dan fase dinginnya (La Nina) 2,5. Sistem terkopel ini menjadi esensi dari
banyak model deskripsi ENSO.
Fenomena El-Nino
menyebabkan penurunan jumlah curah hujan musim hujan, musim kemarau, awal musim
kemarau lebih cepat dan awal musim hujan lebih lambat (Irianto, 2003). Curah
hujan untuk wilayah Pulau Jawa dan Nusa Tenggara mengalami penurunan jumlah
hujan yang mencapai 60% dari rata-rata curah hujan normal pada saat kejadian El
Nino (Irianto dkk., 2000). Berbeda dengan El-Nino, pada saat fenomena La-Nina
jumlah curah hujan tahunan meningkat sekitar 50 mm dari curah hujan rata-rata
normal, dimana saat bulan Desember, Januari dan Februari curah hujan meningkat
sangat nyata (Effendy, 2001). Selain itu curah hujan di Pulau Jawa meningkat
sampai 140%, sedangkan di Pulau Sumatra dan Kalimantan peningkatannya mencapai
120% pada saat fenomena La Nina (Irianto dkk., 2000). Kejadian La Nina juga
mengakibatkan curah hujan di indonesia meningkat pada saat musim kemarau serta
menyebabkan majunya awal musim hujan (Bell et al., 1999; Bell et al.,
2000). Karena cenderung meningkatkan curah hujan pada musim kemarau serta
majunya awal musim hujan tersebut menjadikan efek La Nina bisa bersifat positif
seperti naiknya rata-rata produksi pangan dari total ratarata produksi (Irawan,
2006). Kejadian La Nina pada tahun 1998/1999 merupakan salah satu kejadian La
Nina yang kuat dibandingkan kejadian La Nina sebelum-sebelumnya (Bell et
al., 1999) yang berpengaruh terhadap besaran hujan di Indonesia. Akan
tetapi bentuk pola spasial efek kejadian ENSO tersebut terhadap besaran curah
hujan belum diketahui secara pasti.
Fenomena ENSO ini merupakan gejala alam yang tak bisa
dihilangkan tetapi hanya bisa dihindari. Banyak sekali dampak dan pengaruh
Fenomena ENSO di dalam aktivitas dan kehidupan manusia juga di alam. Untuk
itu perlu Fenomena ENSO untuk
dikaji.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan
masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
Apakah Pengertian ENSO (El Nino Southern Oscillation)?
Bagaimanakah
Fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation)?
Bagaimana
proses terjadinya ENSO (El Nino Southern Oscillation) ?
Apakah
yang menjadi Pemicu fenomena ENSO (El
Nino Southern Oscillation)?
Bagaimanakah dampak dari peristiwa ENSO di Perairan Dunia dan Indonesia?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:
Untuk
mengetahui Pengertian ENSO (El Nino Southern Oscillation)
Untuk
mengetahui Fenomena ENSO (El Nino
Southern Oscillation)
Untuk
mengetahui proses terjadinya
ENSO (El Nino Southern Oscillation)
Untuk
mengetahui dampak dari peristiwa ENSO di Perairan Dunia dan Indonesia
Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut :
Mahasiswa dapat mengetahui faktor penyebab fenomena ENSO
Mahasiswa dapat mengetahui proses terjadinya fenomena ENSO
Mahasiswa dapat mengetahui dampak dari terjadinya fenomena ENSO.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Sebelum membahas lebih jauh mengenai fenomena ENSO kita tentunya harus
mengetahui terlebih dahulu pengertian dari fenomena ENSO. Fenomena ENSO (El nino southern osilication) adalah
gejala penyimpangan (anomali) pada suhu permukaan Samudera Pasifik di
pantai Barat Ekuador dan Peru yang lebih tinggi daripada rata-rata
normalnya.
Istilah ini pada mulanya digunakan untuk menamakan arus laut hangat yang
kadang-kadang mengalir dari Utara ke Selatan antara pelabuhan Paita dan
Pacasmayo di daerah Peru yang terjadi pada bulan Desember. Kejadian ini
kemudian semakin sering muncul yaitu setiap tiga hingga tujuh tahun serta dapat
memengaruhi iklim dunia selama lebih dari satu tahun.
Gilbart Walker yang mengemukaan tentang El Nino dan sekarang
dikenal dengan Sirkulasi Walker yaitu sirkulasi angin Timur-Barat di atas Perairan
Pasifik Tropis. Sirkulasi ini timbul karena perbedaan temperatur di atas
perairan yang luas pada daerah tersebut.
a.
Perairan sepanjang pantai
China dan Jepang, atau Carolina Utara dan Virginia, lebih hangat dibandingkan
dengan perairan
sepanjang pantai Portugal dan California. Sedangkan perairan di sekitar
wilayah Indonesia lebih hangat daripada perairan di sekitar Peru, Chile dan Ekuador.
b.
Perbedaan temperatur
lautan di arah Timur – Barat ini menyebabkan perbedaan tekanan udara permukaan di
antara tempat – tempat tersebut.
c.
Udara
bergerak naik di wilayah lautan yang lebih hangat dan bergerak turun di di wilayah lautan
yang lebih dingin. Dan itu menyebabkan
aliran udara di lapisan permukaan bergerak dari Timur ke Barat. Inilah yang
kemudian disebut dengan angin Pasat Timuran.
Gambar 1. Sirkulasi Timur Barat (Sirkulasi
Walker)
B. Fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation)
Fenomena El Nino
Southern Oscillation (ENSO) adalah peristiwa anomaly pemanasan laut pasifik
katulistiwa bagian timur, yang kemunculannya setiap beberapa tahun sekali dan
dinamakan sebagai El Nino oleh nelayan-nelayan dari Peru. Fenomena ini berkaitan dengan dua
proses yaitu El Nino dan Southern Oscillation. Pengatur ENSO :
v Melemahnya angin pasat (atmosfer)
v Perpindahan kolam panas (laut)
Pengatur ENSO sendiri masih
belum dapat dijelaskan dengan baik, ada sumber yang mengatakan munculnya
disebabkan mula-mula dari atmosfer yaitu oleh melemahnya angin pasat. Sedangkan
pendapat lain mengatakan bahwa munculnya diawali dari laut yaitu adanya
perpindahan kolam panas. Namun hal ini seperti sebuah siklus yang tidak dapat
ditemukan mana yang merupakan awal mula penyebabnya.
Pada
kondisi normal di Equator, laut Pasifik Barat lebih panas di bandingkan
dengan Pasifik Timur. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh :
v Rotasi Bumi
v Daerah Tropis, equator
v Mixing layer
Letak
daerah di ekuator yaitu dimana pertemuan antara angin pasat dan karena bumi ini
berotasi sehingga angin pasat merupakan angin Timuran. Angin pasat ini memiliki
komponen dari timur ke barat sehingga ada gaya yanng membawa materi seolah-olah
akan bergerak ke Barat (arus Timur). Hal ini berkaitan dengan Sirkulasi Walker
yaitu sirkulasi atmosfer yang berada di permukaan bumi sepanjang ekuator menuju
ke Barat dan atmosfer bagian atasnya menjadi lawannya akibat dari penyeimbang
dan geser angin. Sirkulasi ini secara tidak langsung juga disebabkan oleh
adanya rotasi bumi yang bergerak memutar dari Barat ke Timur. Akibat dari
rotasi ini akan menimbulkan penumpukan materi (massa air laut) di Barat,
sehingga lapisan pencampuran/ mixing layer lebih tebal di bagian Barat.
Termoklin di sepanjang ekuator Pasifik juga lebih dangkal di Pasifik Timur di
banding dengan Pasifik Barat pada keadaan normalnya.
Gambar 2.
Anomali Temperature
Adanya evolusi temperatur permukaan air laut di
sepanjang ekuator di laut Pasifik selama El Nino/La Nina. Fluktuansi kondisi
air laut yaitu berkaitan dengan menghangat dan mendinginnya temperatur air
laut. Menghangatnya air laut di bagian Timur-Tengah Pasifik Equatorial dari
pada kondisi normalnya yaitu dapat disebut sebagai kondisi El Nino. Sedangkan
pada kondisi La Nina disebut sebagai kondisi mendinginnya air di bagian
Timur-Tengah Pasifik Ekuatorial dari pada kondisi normalnya. Mendingin dan
menghangatnya air laut ini berkaitan dengan perpindahan kolam panas (warm
pool).
Fenomena Enso ini sering
dilihat dari kondisi parameter cuaca yaitu adanya perubahan kondisi cuaca di
daerah tropis terkait degan curah hujan tropis, tekanan (Osilasi Selatan) dan
angin. Fenomena Enso ini sering dilihat dari kondisi parameter cuaca yaitu
adanya perubahan kondisi cuaca di daerah tropis terkait degan curah hujan
tropis, tekanan (Osilasi Selatan) dan angin. Ketiga unsur cuaca ini dapat
digunakan untuk parameter kondisi ENSO.
C. Proses Terjadinya ENSO
Proses terjadinya ENSO (El nino southern osilication) adalah dijelaskan sebagai berikut ini:
Interaksi laut dan atmosfir membentuk proses kopel di
permukaan laut, yang ditandai dengan terjadinya perpindahan energi dan masa.
Perpindahan energi dan masa dalam proses neraca energi terjadi dalam bentuk
energi radiasi yang menghasilkan energi panas dan momentum berupa friksi di
permukaan. Perpindahan energi dalam proses neraca masa terjadi dalam bentuk
penguapan dan hujan, perpindahan mineral dan gas.
Gas-gas yang ada di permukaan
mengabsorbsi energi radiasi pada panjang gelombang tertentu, akibatnya terjadi
peningkatan temperatur atmosfir dan temperatur air laut. Dalam hal interaksi
laut atmosfir, hubungan antara lautan dan atmosfir terjadi dimana laut
bertindak sebagai pensuplai uap air terbesar bagi atmosfir. Penguapan terjadi
akibat tidak jenuhnya atmosfir oleh uap air serta akibat hangatnya temperatur
muka laut. Sebaliknya atmosfir mensuplai energi dan masa dalam bentuk curah
hujan dan endapan yang juga melibatkan transfer energi. Ketika permukaan laut
mendingin, maka mekanisme di laut akan meresponnya dengan menghasilkan gerak
konveksi vertikal yang akan mensuplai panas ke permukaan. Air hangat akan
menyembul ke permukaan sedangkan air dingin mengendap ke kedalaman. Proses
perubahan temperatur di lautan terjadi jauh lebih lambat daripada di atmosfir,
akibatnya lautan cenderung bertahan hangat meskipun titik nadir matahari telah
menjauhi garis khatulistiwa. Sewaktu angin bertiup di muka laut, energi di
transformasikan dari angin ke permukaan laut. Sebagian dari energi tersebut
menjadi gelombang gravitasi permukaan yang mengikuti
pergerakan arus permukaan akibat pergerakan angin. Hal yang terakhir ini yang
menyebabkan terjadinya arus laut.
Proses
transfer energi yang terjadi di permukaan laut pada dasarnya cukup kompleks,
karena terkait dengan besaran energi yang terpakai untuk proses terjadinya
turbulensi dan besaran energi yang dikonversi menjadi arus. Namun secara umum
berlaku bahwa semakin kuat angin bertiup, semakin besar friksi permukaan yang
mendorong arus di bawahnya. Pekerjaan angin yang mendorong arus laut ini
disebut dengan wind stress.Peristiwa dorongan angin terhadap arus laut
lebih banyak terjadi pada skala kecil melalui proses turbulensi. Peningkatan
kecepatan arus laut dan sebaliknya lebih banyak disebabkan oleh proses
turbulensi permukaan. Turbulensi akan mendistribusikan dan menghilangkan energi
gerak dan merubahnya menjadi energi panas melalui viskositas molekular. Hal
terakhir inilah yang memberikan kontribusi terhadap suhu muka laut. Selebihnya
arus laut diatur oleh kondisi salinitas densitas, suhu dan topograpi dasar
laut.
Suhu muka laut
merupakan salah satu parameter yang merepresentasikan iklim Indonesia. Panasnya
suhu muka laut meningkatkan potensi evaporasi, yang berkorelasi dengan curah
hujan, dan sebaliknya dinginnya suhu muka laut mengurangi potensi turunnya
hujan. Indonesia menerima dampak arus yang mengalir dari lautan Pasifik, dampak
El Nino menyebabkan dinginnya lautan Indonesia. Apabila proses dinginnya
Pasifik dapat dideteksi lebih awal sebelum mempengaruhi lautan Indonesia, bisa
digunakan sebagai prediktor dan sebuah model prediksi .
D. Pemicu ENSO
Teori
yang dikemukakan untuk menjelaskan pemicu El Niño dan La Niña adalah melemahnya
angin passat di daerah Pasifik yang berkaitan dengan osilasi selatan.
Melemahnya angin passat menyebabkan kolam hangat yang terkumpul di bagian
tengah Samudera Pasifik bergerak ke arah timur Samudera Pasifik. Pemicu lainnya
adalah aktifitas konveksi tropis di lautan Hndia dan terjadinya badai yang
kuat. Aktifitas ini harus berlangsung minimal selama satu bulan. Oleh karena
badai tropis ini bersifat geostropik, maka angin yang ditimbulkan di sekitar
ekuator selalu bertiup ke arah timur. Jika badai ini cukup kuat atau
berlangsung cukup lama, maka angin baratan ini cukup kuat untuk memicu El Niño.
Pada
waktu terjadi La Niña, angin passat kuat dan pusat konvergensi sirkulasi Walker
bergeser ke arah barat di daerah Indonesia dan sekitarnya. Akibatnya di
daerah Indonesia, Australia, Papua Nugini, Selandia Baru, Brasil, Cina, India,
Afrika Selatan dan Afrika Timur, hujan meningkat melebihi kondisi normalnya. Sedangkan
di Pasifik Tengah dan Timur, Amerika Utara dan Amerika Selatan bagian subtropis
dan sekitar pantai Peru, badai dan hujan berkurang, kondisi El Nino merupakan
kebalikan dari kondisi La Nina.
Curah
hujan di Idonesia hampir seluruhnya dipengaruhi oleh EL Nino Southern Oscillation
(ENSO), kecuali di sebagian besar Sumatera. Pengaruh ENSO yang paling kuat
terjadi pada bulan September s/d November 2002, yang di banyak daerah merupakan
musim transisi dari musim kemarau ke musim hujan. Sebagai akibatnya, maka akan
dirasakan sebagai musim kemarau yang panjang. Daerah yang terpengaruh oleh ENSO
adalah SUMSEL, seluruh P. Jawa, KALBAR, KALTENG, KALSEL, KALTIM, Sulawesi,
Maluku, Bali, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya. Sementara daerah yang tidak terpengaruh
oleh ENSO adalah Nanggroe Aceh Darussalam, SUMUT, SUMBAR, RIAU, Jambi, dan Bengkulu.
Gambar 4. Sketsa interaksi
laut-atmosfer pada kondisi Normal
Gambar 5. Sketsa interaksi laut-atmosfer pada kondisi El Niño
Gambar 6. Sketsa interaksi laut-atmosfer pada kondisi La-Nina
D. Dampak Fenomena ENSO
Contoh dampak El nino yang
terjadi di perairan adalah dimulai melemah, dan air laut yang panas di pantai
Peru – ekuador kembali bergerak ke arah barat, air laut di tempat itu suhunya
kembali seperti semula dingin) dan upwelling muncul kembali, atau kondisi cuaca
menjadi normal kembali.
Posisi geografis Indonesia
sangat mempengaruhi kejadian iklim ekstrim, dalam hal ini adalah banjir dan
kekeringan. Fenomena yang sangat mempengaruhi iklim di Indonesia adalah ENSO,
karena Indonesia terletak di antara dua samudera, yaitu Pasifik dan Hindia.
Kejadian El Nino akan menyebabkan kekeringan di wilayah Indonesia terutama di
wilayah yang mempunyai pola curah
hujan monsoonal. Sedangkan fenomena La Nina akan
menyebabkan curah hujan di Indonesia meningkat pada saat musim kemarau serta
menyebabkan majunya awal musim hujan (Bell et
al., 1999). Pada tahun 2010 yang lalu, terjadi suatu fenomena kemarau basah
sehingga sepanjang tahun terjadi musim hujan. Hal ini merupakan salah satu
contoh iklim ekstrim yang terjadi di Indonesia sebagai akibat dari terjadinya
perubahan iklim.
Naiknya
tekanan udara di pasifik tengah dan timur saat El Nino, menyebabkan pembentukan
awan yang intensif. Hal ini yang menjadikan curah hujan yang tinggi di kawasan
pasifik tengah dan timur. Sedangkan sebaliknya, di daerah pasifik barat terjadi
kekeringan yang jauh dari normal. Turunnya tekanan udara di pasifik tengah dan
timur saat La Nina, menjadi hambatan terbentuknya awan di daerah ini, sehingga
mengalami kekeringan. Sedangkan sebaliknya, di daerah pasifik barat curah hujan
sangat tinggi. Hal ini menimbulkan banjir yang parah di Indonesia. Meningkatnya
suhu permukaan laut yang biasanya dingin di perairan, mengakibatkan perairan
yang tadinya subur akan ikan menjadi sebaliknya. Hal ini menyebabkan nelayan
kesulitan mendapatkan ikan di perairan.
El Niño
merupakan fenomena global yang sangat mempengaruhi hidrometeorologi di daerah
Asia Tenggara dan Australia dengan variabilitas curah hujan yang dipengaruhi
oleh intensitas El Niño. Kekeringan dan kebanjiran merupakan konsekuensi dari
tingginya variabilitas El Niño. Tahun kering di Indonesia akibat terjadinya
El Niño dan tahun basah merupakan pengaruh terjadinya La Niña yang intensif (Brumbelow and Georgakakas, 2005; Lim,
1998). Terjadinya El Niño dan La Niña
menyebabkan terjadi perubahan pola
curah hujan di Indonesia yang berdampak pada perubahan periode masa tanam
(growing season), pola tanam, dan awal tanam Jumlah curah hujan dalam periode transisi antara bulan-bulan kering
dan musim hujan sangat penting dalam pertanian.
E. Monitoring ENSO
Dalam memonitoring Fenomena ENSO ini diukur dengan beberapa indeks, yaitu :
a) Tahiti-Darwin SOI (Southern Oscillation Index)
Southern Oscilation Index
adalah indeks ENSO dengan melihat perubahan anomali SLP (Sea Level Pressure).
SOI ada 2 yaitu Tradisional SOI yag merupakan perbedaan anomali SLP dari
keadaan normalnya di antara SLP di Tahiti dan di Darwin. Sedangkan yang kedua
adalah Equatorial SOI yaitu perbedaan anomali SLP di antara Pasifik Timur
(5˚N-5˚S, 130˚-80˚W) dan Pasifik Barat (5˚N-5˚S, 90˚-140˚E). Keduanya merupakan
indeks SOI yang digunakan untuk memonitoring ENSO.
Gambar diatas memperlihatkan
standar deviasi SOI rata-rata 3 bulanan dari tahin 1975-2000. SOI positif yaitu
ketika standar deviasinya diatas 0, dan SOI negatif ketika standar deviasinya
di bawah 0.
Ketika SOI pisitif (+)
merupakan indikasi terjadinya La Nina. Tandanya adalah SLP di daerah sekitar
Darwin berada lebih rendah dari pada normalnya, sedangkan di Tahiti SLPnya
lebih tinggi dibanding normalnya. Gerakan Timuran akan menguat dan membuat
kolam panas mengumpul di Darwin. Kondisi inilah yang disebut sebagai La Nina.
Sedangkan jika indeks SOI negatif (-) merupakan
indikasi terjadi El Nino, yang dimana kondisi SLP di Darwin lebih besar
dibandingkan normalnya, sedangkan SLP di daerah Tahiti lebih rendah di banding
normalnya. Sementara kondisi SLP di Tahiti jauh lebih besar dibanding SLP di
daerah IDT. Gerakan timuran yang melemah akan mendukung kolam panas mengumpul
di IDT. Kondisi inilah uang disebut dnegan El Nino.
b)
Equatorial SOI
c)
Indeks Angin level rendah
d)
Indeks Angin level atas
e)
OLR , batasan untuk
presipitasi daerah tropis
f)
Oceanic Nino Index (ONI)
ONI adalah indeks baru yang
merupakan salah satu indeks El Nino. ONI ini dihitung berdasarkan prinsip
perhitungan untuk monitoring, assessment dan prediksi siklus ENSO. ONI ini
melihat juga perubahan nilai SST dari rata-rata daerah Nino 3.4. Diambil rata-rata
pertiga bulan dijalankan dan dilihat nilai perubahan SST dama dengan analisis
SST historis. Oni digunakan untuk melihat kondisi arus di suatu tempat dalam
prespektive historis. Oni telah dioperasikan oleh NOAA.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang dan
pembahasan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Fenomena ENSO (El
nino southern osilication) adalah gejala penyimpangan (anomali) pada suhu
permukaan Samudera Pasifik di pantai Barat Ekuador dan Peru yang
lebih tinggi daripada rata-rata normalnya.
2.
Fenomena
Enso ini sering dilihat dari kondisi parameter cuaca yaitu adanya perubahan
kondisi cuaca di daerah tropis terkait degan curah hujan tropis, tekanan
(Osilasi Selatan) dan angin. Fenomena Enso ini sering dilihat dari kondisi
parameter cuaca yaitu adanya perubahan kondisi cuaca di daerah tropis terkait
degan curah hujan tropis, tekanan (Osilasi Selatan) dan angin. Ketiga unsur
cuaca ini dapat digunakan untuk parameter kondisi ENSO.
3.
Teori yang dikemukakan untuk menjelaskan pemicu El Niño dan La Niña adalah
melemahnya angin passat di daerah Pasifik yang berkaitan dengan osilasi
selatan.
4.
Dampak dari
fenomena El nino yaitu Naiknya tekanan udara di pasifik tengah dan timur
saat El Nino, menyebabkan pembentukan awan yang intensif. Hal ini yang
menjadikan curah hujan yang tinggi di kawasan pasifik tengah dan timur.
Sedangkan sebaliknya, di daerah pasifik barat terjadi kekeringan yang jauh dari
normal.
5.
Dalam
memonitoring Fenomena ENSO ini diukur dengan beberapa indeks, yaitu :
Tahiti-Darwin SOI (Southern Oscillation
Index), b)
Equatorial SOI, Indeks Angin
level rendah, Indeks Angin level atas, OLR , batasan untuk presipitasi daerah
tropis. dan Oceanic Nino Index (ONI).
B.
Saran
Dalam pembahasan di
makalah ini, masih banyak kekurangan sehingga diharapkan pembaca mampu mencari
refrensi yang lebih lengkap lagi. Mengingat perkembangan teknologi yang kian
pesat tiap tahunnya, bukan tidak mungkin kemudian makalah ini menjadi tidak
relevan lagi karena perubahan teknologi yang semakin maju.
DAFTAR PUSTAKA
Bayong Tjasyono HK. and A. M. Mustofa, 2000. Seasonal Rainfall Variation over
Monsoona l Areas. JTM, Vol. VIII, No. 4 , ITB, Bandung.
Bayong Tjasyono
HK. and Zadrach L. D., 1996. The Impact of El Niño on Season in
Indonesian Monsoon Region. Proc. of the International Workshop
on the Climate System of Monsoon Asia, Kyoto, Japan.
Bayong Tjasyono
HK., 2006. Impact of El Niño on Rice Planting in The Indonesian Monsoonal
Areas. The International Workshop on Agrometeorology, BMG, Jakarta.
Bayong Tjasyono
HK., 2007. Variasi Iklim Musiman dan Non Musiman di Indonesia. Lokakarya
Meteorologi, Geofisika,dan Klimatologi untuk Media dan Pengguna Jasa, BMG,
Hotel NAM Center, Jakarta.
Brumbelow, K. and
A. Georgakakas, 2005. Consideration of Climate Variability
and Change in
Agricultural Water Resources Planning. J. Water Resources Planning and
Management, W.R/2005/022915.
Eva
Gusmira, 2005. Pengaruh Dipole Mode terhadap Angin Zonal dan Curah Hujan di
Sumatera Barat. Tesis bidang khusus Sains Atmosfer, ITB, Bandung.
Lim, J. T., 1998.
ENSO and its relationship to haze and forest fire in Southeast Asia. Malaysian
Meteorological Service, Petaling Jaya, Selangor.
Ramage, C. S.,
1971. Monsoon Meteorology, Academic Press, New York.
Rasmesson, E. N.
and T. H. Carpenter, 1983. The Relationship between The Eastern Pacific Sea
Surface Temperature and Rainfall over India and Sri Langka. Mon. Wea. Rev.,
Vol. III.
Saji, N. H.; B. N.
Goswani; P. N. Vinayachandran;and T. Yamagata, 1999. A Dipole Mode in the Tropical
Indian Ocean . Nature Vol. 401, 360
–363.
Schmidt, F. H. and
J. V. der Vecht, 1952. East Monsoon Fluctuation in Java and Madura During The Period 1880
–1940. VerhandelingenNo. 43,Jakarta. Trenberth, K. E., 1996 a. El Niño –Southern Oscillation. Workshop
on ENSO and Monsoon, ICTP, Trieste, Italy.
Trenberth, K. E.,
1996 b. El Niño Definition, Workshop
on ENSO and Monsoon. ICTP, Trieste, Italy.
Yamagata, T.;
Lizuka, S. and Matsura, T., 2000. Successful Reproduction of the Dipole Mode
Phenomenon in the Indian Ocean Using a Model –Advance toward the Prediction of
Climate Change. Geophysical Research Letter.
Yamagata, T.;
Swadhin K. Behera; S. A. Rao; Zhooyong Guan; Karamuri A. ; and H. N. Saji, 2002. The
Indian Dipole . A
Physical Entity Exchanges No. 24, Southampton UK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar